Akusisi Peserta Baru dari Pekerja Informal Belum Maksimal
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Akuisisi kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan terhadap pekerja informal atau sektor usaha mikro, kecil, dan menengah dinilai belum maksimal. Hal itu karena sosialisasi yang dianggap belum masif. Upaya menggaet peserta baru perlu pendekatan khusus ke komunitas dan tokoh masyarakat.
Koordinator Advokasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Watch, Timboel Siregar saat dihubungi di Jakarta, Rabu (15/8/2018) menyebutkan, jumlah pekerja informal sesuai data Badan Pusat Statistik mencapai 73 juta orang. Sementara jumlah pekerja informal peserta jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM) baru sekitar 1,7 juta orang per 31 Desember 2018.
Akuisisi tersebut dilakukan melalui program Desa Sadar BPJS, Gerakan Nasional Perlindungan Pekerja Rentan, dan Penggerak Jaminan Sosial Indonesia (Perisai). Menurut Timboel, sosialisasi pentingnya jaminan sosial belum masif. "Kami mengamati beberapa agen kurang fokus. Mereka umumnya menjadikan agen sekadar sambilan," ujarnya.
Program keagenan bernama Perisai yang diluncurkan BPJS Ketenagakerjaan pada Februari 2018. Menurut Timboel, Perisai cukup positif, tetapi perlu dievaluasi, antara lain soal imbalan dan insentif ke agen. Imbalan ke agen dinilai kecil, yakni 7,5 persen dari iuran yang dikumpulkan agen.
Serikat pekerja juga dinilai berperan meningkatkan kepesertaan jaminan sosial di segmen pekerja bukan penerima upah. Namun, akuisisi pekerja bukan penerima upah dan UMKM biasanya butuh pendekatan khusus. Sebab mereka biasanya lebih percaya ke tokoh-tokoh masyarakat.
Menurut Timboel, jikan ingin mendongkrak peserta dari kalangan pekerja informal dan UMKM, ada regulasi yang memerlukan revisi. Salah satunya Pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2003 yang mengatur penahapan kepesertaan.
Pemberi kerja berlatar belakang UMKM wajib mendaftarkan pekerjanya kepada BPJS Ketenagakerjaan untuk mengikuti program JKK, JHT, jaminan pensiun, dan JKM secara bertahap mulai 1 Juli 2015. Penahapan maksudnya yaitu pelaku usaha besar dan menengah wajib mengikutkan pekerjanya ke empat program; pelaku usaha kecil wajib JKK, JHT, dan JKM; serta pelaku usaha mikro wajib JKK dan JKM.
"Gebrakan lain yang perlu dilakukan pemerintah adalah mendukung iuran pekerja informal, khususnya mereka yang rentan, melalui dana APBN. Mereka bisa diposisikan sebagai penerima bantuan iuran layaknya yang sudah dilakukan di jaminan sosial kesehatan," ujarnya.
Evaluasi
Perisai mulai diimplementasikan secara nasional pada 5 Februari 2018. Perisai merupakan terobosan BPJS Ketenagakerjaan untuk memperluas cakupan kepesertaan dan perlindungan jaminan sosial melalui sistem keagenan. Sasaran utamanya pekerja informal atau pekerja bukan penerima upah dan pelaku UMKM.
Perisai diadopsi dari konsep Sharoushi dan Jimmikumiai dari Jepang. BPJS Ketenagakerjaan menyempurnakannya dengan memanfaatkan teknologi informasi untuk memudahkan operasional serta meminimalisasikan risiko gangguan. Perisai juga didukung oleh bank mitra, seperti BNI. Para agen mendapatkan imbalan berdasarkan akuisisi dan perekrutan peserta.
Deputi Direktur Bidang Hubungan Masyarakat dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan, Irvansyah Utoh Banja menyebutkan, jumlah agen Perisai per 15 Agustus 2018 mencapai 2.300 orang di seluruh Indonesia. Mereka telah mengakuisisi 200.000 peserta baru.
Kini BPJS Ketenagakerjaan tengah mengevaluasi pencapaian kinerja Perisai. Evaluasi fokus pada efektivitas hasil akuisisi peserta baru. "Kami mementingkan kualitas dibandingkan kuantitas agen. Kami melihat jumlah peserta yang berhasil diakuisisi agen serta bagaimana mereka membayar iuran secara berkelanjutan," ujar Irvansyah.
Perekrutan agen mengutamakan orang yang memiliki akses ke komunitas pekerja informal dan UMKM.