Sepatu Anak Bangsa Menembus Istana
Lagu pop sunda berjudul "Layung Bereum" atau senja merah mengalun riang di bengkel sepatu Wayout di Buah Batu, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (23/7/2018). Liriknya tentang rasa rindu yang tak tertahankan lagi. Lewat tangan–tangan terampil, para perajin sepatu Wayout menginginkan senja indah bersama mereka.
Didirikan dua sahabat, Gally Magido Rangga (35) dan Verawati Claudia (34), Wayout adalah unit usaha pembuatan sepatu bot berbahan kulit di Bandung. Sejak delapan tahun lalu, Wayout melanglang ke banyak daerah. Tak sedikit yang diboyong ke mancanegara oleh konsumen perorangan.
"Permintaannya mencapai 300 pasang per bulan, masih jauh dari kemampuan produksi sebanyak 100-150 pasang per bulan” kata Gally.
Akan tetapi, bagi Gally, keuntungan bisnis bukan misi satu-satunya. Belajar semua tentang sepatu di Cibaduyut, sentra pembuatan sepatu legendaris di Bandung, dia punya harapan mulia. Mengambil secuil peran jadi solusi menjaga ketelatenan perajin asal Cibaduyut yang terus terancam.
Tumbuh di awal 1920-an, Cibaduyut pernah jaya sebagai sentra sepatu. Kawasan ini sempat jadi patron pembuatan sepatu negeri ini. Namun, Cibaduyut kini menghadapi ujian besar. Serbuan sepatu pabrikan asal China berkualitas rendah, pembajakan model, hingga upah pekerja yang bergantung pesanan, membelenggu sentra sepatu itu.
Sebagian perajin ada yang bertahan dengan kreativitas mereka. Namun, sebagian lainnya sulit bersaing. Hal itu rentan menghambat regenerasi pembuat sepatu di Cibaduyut. Kebanggaan anak muda perajin sepatu Cibaduyut tempo dulu, perlahan tergerus di zaman milenial ini.
“Seharusnya itu tidak terjadi. Rata-rata kemampuan perajinnya sudah teruji. Kebanggan itu ingin kami pelihara,” kata Gally.
Sulit bertahan bila di sana. Order pembuatan sepatu dengan tangan semakin sepi karena digantikan sepatu pabrikan
Tangan–tangan terampil itu diperlihatkan Sandi Gunawan (23), satu dari 30 perajin sepatu di Wayout. Baru sehari bekerja di Wayout, dia tak canggung merapikan sol sepatu bot berbahan karet. Di usia muda, ia sudah jadi pembuat sepatu di Cibaduyut sejak tiga tahun terakhir.
“Sulit bertahan bila di sana. Order pembuatan sepatu dengan tangan semakin sepi karena digantikan sepatu pabrikan. Di sini, keahlian saya lebih terpakai,” katanya.
Kreativitas
Bukan tanpa alasan Gally mempertahankan pembuatan sepatu menggunakan tangan ini. Meski kuantitasnya tak sebanyak mesin, sepatu buatan tangan punya kualitas khas dan peminat tersendiri. Ketidaksempurnaannya dihargai banyak konsumen. Dijual Rp 800 ribu-3,5 juta per pasang, Wayout tak kehilangan peminat.
“Semangat itu sejalan karakter kulit yang kami pakai, guratan alaminya kami pertahankan untuk jadi ciri khas kuat. Saat kawin dengan kreativitas manusia, hasilnya pasti luar biasa,” katanya.
Kreativitas itu dibuktikan dengan ratusan ide model sepatu buatan Gally. Ada yang dibuat berulang-ulang. Namun, tak sedikit yang dibikin terbatas, tak lebih dari 20 pasang, demi menjaga sisi eksklusifnya.
Selain menuangkan ide lewat Wayout, ia juga membidani merek sepatu lainnya, Exodos57. Diambil dari bahasa Yunani, exodos berarti serupa wayout atau solusi. Sedangkan angka 5 harapannya jadi anugerah dan 7 simbol kesempurnaan.
Akan tetapi, Exodos57 dan Wayout punya pasar berbeda. Saat bot ala Wayout diminati penggemar musik hingga pengguna sepeda motor untuk usia 25 tahun ke atas, Exodos57 membuat sneakers bagi beragam kalangan dengan usia 25 tahun ke bawah. Exodos57 bahkan membubuhkan tenun khas Indonesia di beberapa desainnya. Harganya mulai dari Rp 375.000-Rp 800.000 per pasang.
“Sama-sama dibuat berbahan kulit, keduanya dibuat berbeda. Tujuannya agar saling menguatkan pasar sepatu lokal. Peluang pekerjaan berpotensi semakin besar karena teknik pembuatan keduanya berbeda,” kata dia.
Exodos57 berada di jalan yang tepat. Permintaannya mencapai 1.500 pasang per bulan. Jumlah itu jauh dari kapasitas produksi 500 pasang per bulan. Exodos57 bahkan ikut dalam Yokohama Hotrod Custom Show, pameran produk kreativitas dunia, di Jepang tahun lalu.
Kreasi sepatu kulit perempuan juga dibuat bermerk Klaim. Kali ini, bidannya adalah Claudia Bahan kulitnya lebih halus dengan warna alami. Proses penyamakan kulitnya pun ramah lingkungan. Tanpa bahan kimia, kulit diolah hanya menggunakan garam dan kapur.
“Dengan semakin banyak inovasi, kami terus menantang diri sendiri guna menyegarkan ide dan semangat. Intinya tetap belajar dan tidak lekas puas,” kata Claudia.
Siang itu, Gally membuktikannya saat meminta Iki Permana (20), pekerja lainnya, mengerjakan model sepatu bot yang habis stok tapi masih diminati konsumen.
"Tolong buatkan upper (kulit bagian atas sepatu) seperti ini. Ukurannya 31," kata Gally memperlihatkan gambar sepatu itu lewat telepon genggamnya.
Iki menajamkan mata, memoloti model penuh detail jahitan. Tak lama, kepalanya mengangguk. "Siap" jawab Iki mantap.
Keahlian Iki adalah contoh manis hasil belajar di Wayout. Tiga tahun lalu, dia masih bekerja sebagai pembuat sepatu imitasi merek luar negeri menggunakan mesin. Tanpa keahlian membuat sepatu kulit, modalnya hanya keinginan belajar.
Jujur ada rasa bersalah membuat sepatu imitasi dengan membajak merek dan modelnya. Di sini hati lebih tenang karena idenya segar tidak mencontek," katanya
Motivasi itu menarik minat Gally. Iki diterima bekerja. Tak dilepas begitu saja, Gally dan pekerja lain mengajarkan Iki beragam teknik pembuatan sepatu dengan tangan. Mulai dari membersihkan sepatu yang sudah jadi, lalu mahir membuat upper. Kerapihan upper sangat menentukan wajah sepatu itu sendiri.
"Jujur ada rasa bersalah membuat sepatu imitasi dengan membajak merek dan modelnya. Di sini hati lebih tenang karena idenya segar tidak mencontek," katanya.
Penyanyi jalanan
Keinginan berbagi dan terus belajar ini tak lepas dari kehidupan keras yang dijalani Gally di jalanan. Meninggalkan Tentena, tanah kelahirannya, ia singgah di Surabaya sebelum tiba di Bandung. Di kota kembang, dia bergabung bersama Kelompok Penyanyi Jalanan. Dengan suaranya, ia mempertahankan hidup bersama rekan-rekannya di jalanan.
“Saya mendapat pengalaman hidup sangat besar hidup di jalan. Namun, di satu titik, saya berpikir harus punya bekal dan pegangan hidup. Hanya saja karena tak punya modal dan minim keahlian, sempat bingung mau apa,” katanya.
Pilihannya jatuh pada sepatu. Alasannya sederhana. Gally suka sepatu tapi kerap tak bisa membelinya. “Dari sana terpikir kenapa tidak membuat lalu dijual sendiri,” katanya.
Hatinya lantas tertuju pada Cibaduyut. Minim pengalaman, bersama Claudia, ia blusukan mencari perajin berpengalaman untuk diajak kerja sama. Dia bertemu Aye Sutisna (51), perajin sepatu berpengalaman.
Akan tetapi, semuanya tak langsung mulus. Dia kaget, setelah tahu banyak hal harus ia siapkan. Mulai dari membeli alat pembuatan hingga tempat khusus. Saat itu, ia hanya punya beberapa ribu rupiah di kantongnya.
Beruntung, perkembangan teknologi menyelamatkannya. Fenomena jual beli daring tengah mekar kala itu. Lewat media sosial, dia membuka pesanan sepatu untuk perempuan. Dari sana, ia mendapat modal sekitar Rp 2 juta dari uang muka calon pembeli.
"Modalnya bukan sekadar uang tapi berani dan nekat. Uang itu lantas diputar menjadi sepatu dalam waktu dua minggu. Bahannya masih kulit imitasi. Keuntungannya sangat sedikit. Hanya cukup membuat sepatu lagi dan makan sehari-hari," katanya.
Butuh setahun hingga Gally menemukan cinta pada sepatu berbahan kulit asli. Di awal, ia menawarkannya pada komunitas musik, beberapa band dan musisi yang ia kenal saat hidup dengan menyanyi bermodal suara merdu.
“Mereka tertarik. Saat itu, tidak banyak sepatu bot buatan lokal yang bisa menggambarkan karakter anak band. Mulai dari personel Kotak, Armada, Slank, hingga Naif ikut memperkenalkan Wayout,” katanya yang memberanikan diri membuka toko di kawasan Ranggamalela pada 2011 sebelum pindah ke Jalan Buah Batu 79 pada 2013.
Kolaborasi dengan perajin dan pergaulan dengan komunitas kembali membuatnya belajar. Keduanya harus dijaga sebelum menelurkan banyak karya. Tak ada gunanya, punya mimpi bikin karya terbaik bila tak tahu membuatnya atau sulit dijual.
Kolaborasi bersama komunitas dilakukan saat merancang sepatu yang lantas disukai Presiden Joko Widodo. Modelnya dinamakan 3Laborate. Selain Exodos57, ada juga terlibat perajin sepatu Union Well dan Rawtype Riot. Sepatu itu jadi bagian kreativitas yang dibawa kelompok Gentelmen\'s Pact ke Istana Kepresidenan dalam perayaan Sumpah Pemuda 2017.
"Nilai terbesarnya bukan pada harga atau bentuk sepatu. Meski berbeda, anak-anak bangsa bisa saling mengisi kekurangan menyumbangkan satu karya terbaik,” katanya.
Energi itu bukan pertama kali dia jaga. Jauh sebelum karyanya masuk ke istana hingga sampai ke Jepang, ia menjalani itu di bengkel sepatunya.
Aye Sutisna, perajin pionir di Wayout, hingga kini masih bersama Gally. Bagi Gally, Aye adalah jejak besar yang harus terus dipertahankan sebagai cermin kerja keras dan teladan ala Wayout.
“Harapannya semakin banyak orang-orang sepertinya yang setia dan bangga dengan keahliannya seperti beliau," katanya.
Tempat ini jadi salah satu solusi bagi saya dan keluarga meneruskan tradisi pembuatan sepatu Cibaduyut
Di ruangan sol di sudut bengkel Wayout, ketelitian dan ketekunan itu terlihat. Menggunakan alat amplas mekanik, Aye tengah menghaluskan sol sepatu berbahan karet. Tak ada keraguan saat dia melakukannya. Dia ingin memastikan sol sepatu itu sempurna.
Aye mengatakan, sepatu buatan Wayout, Exodos57, dan Klaim memberi energinya untuk berkarya. Keahliannya lebih dihargai ketimbang mesin pembuat sepatu. Ia semakin nyaman karena mendapat penghasilan lebih baik ketimbang sebagian besar bengkel sepatu di Cibaduyut.
"Tempat ini jadi salah satu solusi bagi saya dan keluarga meneruskan tradisi pembuatan sepatu Cibaduyut. Itu si Sandi adalah cucu saya," kata Aye menujuk pada Sandi, pekerja baru pemilik tangan telaten yang baru sehari bekerja.
Gally Magido Rangga
Lahir: Tentena, Sulawesi Tengah, 14 Agustus 1982
Pendidikan terakhir: SMA Bumi Siliwangi Bandung (Lulus 2001)
Verawati Claudia
Lahir : Tentena, Sulawesi Tengah, 21 Februari 1983
Pendidikan terakhir: S2 Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Lulus 2015)