JAKARTA, KOMPAS--Tata niaga gas bumi di Indonesia masih cukup menantang. Hal ini tergambar dari lokasi sumber gas yang tersebar dan jauh dari pusat pelanggan.
Tantangan pada tata niaga gas di Indonesia adalah cara membawa gas sampai ke pihak pengguna akhir. Persoalannya menjadi tak mudah lantaran letak sumber gas di Indonesia terpencar di banyak titik, terutama di wilayah timur ada di perairan dalam. Sementara, pengguna gas banyak terpusat di Jawa dan Sumatera.
"Selain isu pengangkutan gas, hilirisasi gas menjadi produk petrokimia juga masih menjadi persoalan sendiri. Indonesia masih perlu banyak mengimpor produk petrokimia," kata Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Amien Sunaryadi di acara Gas Indonesia Summit 2018, Rabu (1/8/2018), di Jakarta.
Amien juga menyinggung sektor penyerap gas yang masih terbatas. Gas yang diserap untuk kebutuhan pembangkit listrik, kurang efisien. Idealnya, industri yang membutuhkan gas berlokasi di kawasan terpadu sehingga memudahkan pengangkutan atau pendistribusian.
Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia PT Pertamina (Persero) Heru Setiawan menambahkan, tantangan industri gas Indonesia kian ketat seiring masih panjangnya mata rantai pasokan dari produsen gas ke konsumen. Disamping itu, ketersediaan infrastruktur gas tidak merata di Indonesia. Padahal, infrastruktur gas yang andal akan meningkatkan efisiensi tata niaga di dalam negeri.
"Apalagi, kebutuhan gas di dalam negeri terus meningkat di masa mendatang. Bahkan, diperkirakan akan terjadi defisit gas pada 2025 sehingga Indonesia akan sangat bergantung pada impor," ujar Heru.
Dalam pidato kuncinya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, keterbatasan infrastruktur gas menimbulkan masalah pengangkutan. Pemerintah telah menerbitkan kebijakan harga gas untuk melindungi konsumen berupa Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
"Harga gas di dalam negeri bersaing dengan negara lain. Pada 2017, seluruh harga domestik kita secara hulu di bawah harga yang tidak lebih tinggi dari Malaysia, yakni 7,56 dollar AS per MMBTU dan Singapura 10 dollar AS per MMBTU," ujar Arcandra.
Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia pada Kamar Dagang dan Industri Indonesia Achmad Widjaja mengatakan, sektor industri pengguna gas masih menunggu janji pemerintah menurunkan harga gas. (APO)