JAKARTA, KOMPAS — PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF berupaya memperluas basis investor efek beragun aset berbentuk surat partisipasi yang selama ini didominasi investor institusi. Investor individu dari generasi milenial mulai diincar untuk meningkatkan likuiditas.
Direktur Utama SMF Ananta Wiyogo menuturkan, pihaknya bekerja sama dengan BNI Sekuritas untuk menyualurkan produk ini kepada investor ritel perorangan. Ini adalah upaya SMF dalam menciptakan pasar baru guna meningkatkan likuiditas efek beragun aset berbentuk surat partisipasi (EBA-SP) di pasar sekunder.
”Dengan upaya ini, kami harapkan basis investor EBA-SP semakin luas hingga menyentuh para investor potensial seperti generasi milenial,” ujarnya di Jakarta, Kamis (2/8/2018).
EBA-SP adalah efek yang berbentuk seperti obligasi atau saham. Penerbit EBA-SP akan membeli piutang yang merupakan aset keuangan dari kreditor asal. Aset keuangan yang dibeli dibatasi pada piutang kredit pemilikan rumah (KPR). Penerbitan EBA-SP hanya bisa dilakukan perusahaan pembiayaan sekunder perumahan. Di Indonesia, perusahaan yang sesuai ketentuan tersebut adalah SMF.
”Saat ini, kepemilikan EBA-SP masih didominasi oleh investor institusi seperti pengelola dana pensiun dan perusahaan asuransi,” ujarnya.
Untuk menjangkau investor ritel, SMF menggunakan produk EBA-SP yang sudah ada sebelumnya. EBA-SP yang dipasarkan untuk pasar ritel ini adalah EBA-SP SMF BTN 01 Kelas A yang dirilis pada 3 Desember 2015. Instrumen senilai Rp 54,97 miliar ini memiliki tingkat suku bunga 8,6 persen per tahun dan akan jatuh tempo pada 7 Maret 2022.
Untuk berinvestasi di instrumen EBA-SP SMF BTN 01 Kelas A, calon investor cukup mendatangi kantor cabang BNI Sekuritas atau mengakses portal e-trading BNI Sekuritas yang juga melayani jual beli reksadana dan saham.
”Hanya dengan modal minimal Rp 100.000 investor bisa membeli produk investasi yang memperoleh rating idAAA dari Pefindo (PT Pemeringkat Efek Indonesia),” ujarnya. Tingkat idAA artinya memiliki kapasitas yang sangat kuat dalam keuangan jangka panjang.
Deputi Direktur Perizinan Pengelolaan Investasi Otoritas Jasa Keuangan I Made Bagus Tirthayatra mengatakan, sejak OJK menggulirkan ketentuan EBA-SP pada 2014, tercatat ada 5 produk EBA-SP yang telah terbit senilai total Rp 4,7 triliun.
Awalnya, EBA hanya mensekuritisasi KPR. Dalam perkembangannya, portofolio produk EBA semakin beragam, mulai dari tagihan listrik hingga penerimaan tiket pesawat. ”OJK melihat pertumbuhan EBA dalam beberapa tahun terakhir sangat pesat,” ujar Made.
Selain EBA-SP, OJK pun mengeluarkan izin untuk produk investasi sejenis yang mendukung pembangunan infrastruktur bernama kontrak investasi kolektif efek beragun aset (KIK EBA).
OJK mencatat sejak Januari 2014 hingga Juli 2018 telah terbit 4 produk KIK EBA dan 5 produk EBA-SP dengan nilai total mencapai Rp 14,2 triliun.
”Instrumen ini sebenarnya memberikan return yang sangat menarik. Sayangnya, banyak orang yang belum paham. Karena itu, peluncuran EBA ritel di pasar sekunder saya nilai penting untuk meningkatkan likuiditas EBA di pasar investasi,” ujarnya.