SLEMAN, KOMPAS - Para kepala desa dituntut lebih inovatif dan kreatif jika hendak mengembangkan desa. Aset sebesar apapun di desa, tanpa kemampuan mengelola, maka akan percuma. Pemerintah desa pun harus mengutamakan semangat pemberdayaan, bukan sekadar mencari keuntungan dalam mengelola desa.
Menurut Peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE) Bambang Hudayana, kewirausahaan sosial dalam mengelola desa menjadi hal penting. Yang ingin dicapai adalah bagaimana masyarakat bisa berdaya dengan potensi-potensi di desanya masing-masing.
“Social Enterpreneur menjadi penting. Mereka tidak ingin bekerja melibatkan atau menguntungkan dirinya sendiri. Tujuan mereka adalah membuat masyarakat bisa tumbuh nantinya,” kata Bambang pada diskusi di Kantor IRE, Sleman, Senin (31/7/2018).
Aparatur desa, terutama kepala desa, sejak terpilih harus mengutamakan tumbuhnya perekonomian di tingkat akar rumput. Namun, itu belum cukup. Semangat tumbuhnya perekonomian itu harus didasari pada keinginan seluruh masyarakat mengembangkan ekonomi secara bersama-sama.
Tengkulak-tengkulak harus membeli dari BUMDes, sehingga tidak bisa mempermainkan harga.
Hal tersebut didasari pada karakter masyarakat desa yang tinggi kolektivitasnya. Masyarakat desa lebih senang melakukan segala sesuatunya bersama-sama. Modal sosial tersebut dapat dikonversi menjadi kapital dengan ide-ide kreatif dari kepala desanya.
“Warga yang aktif adalah kekuatan tersendiri dari desa. Warga punya modal sosial untuk menggerakkan penghidupan yang produktif. Tidak hanya sekadar solidaritas sosial saja,” jelas Bambang.
Sementara itu, Direktur IRE Sunaji Zamroni mengungkapkan, masyarakat desa memiliki instrumen pemberdayaan masyarakat berupa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Persoalan selanjutnya adalah bagaimana badan itu menggerakkan aksi kolektif masyarakat yang bisa memberikan penghidupan berkelanjutan.
“BUMDes ini adalah pemberdayaan desa. Sekarang muncul kesan bahwa terjadi industrialisasi di desa-desa ini. Ini ada dua narasi besar yang saling berjalan beriringan. Semangat BUMDes sebagai pemberdayaan masyarakat sekaligus pengembangan desa perlu tetap dijaga,” kata Sunaji.
Itu dapat dilakukan dengan membuat jenis usaha yang bertujuan menyelesaikan masalahan masyarakat di desa itu. Jika dikembangkan tekun, usaha itu nantinya tidak hanya mampu menolong masyarakat desa menyelesaikan permasalahan di desanya sendiri, tetapi ada keuntungan ekonomis pula yang bisa didapat.
Semua itu dialami Ton Martono, Direktur BUMDes Karangrejek, Kecamatan Wonosari, Gunungkidul. Desa itu terisolir dan kekeringan. Pada era 1980-an, desa itu selalu kekurangan air ketika terjadi kemarau panjang.
“Kekeringan adalah masalah di desa ini. Kami berusaha bagaimana menyediakan air minum untuk desa. Kami juga berpikir potensi ekonomi yang bisa diperoleh dari sektor tersebut. Semangat kami adalah bagaimana desa yang miskin ini bisa menjadi seperti desa-desa lainnya,” kata Ton.
Tak berhenti pada angan-angan, mereka pun mencari pinjaman untuk menggali sumur sedalam 150 meter. Ternyata, ada sumber air cukup besar di aliran sungai bawah tanah di daerah itu. Debit airnya pun cukup tinggi dengan kekuatan 20 liter per detik.
Secara sadar pemerintah desa mengomersilkan air bersih yang secara perlahan menambah jumlah pelanggan. Dari yang awalnya hanya berjumlah 120 orang, terus bertambah hingga merambah ke desa-desa lainnya.
Selain itu, mereka juga mendirikan usaha bisnis pertanian. Tujuannya adalah memotong alur distribusi pasar. Mekanismenya, semua hasil panen warga saat kemarau akan dibeli pihak Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Tengkulak-tengkulak harus membeli dari BUMDes, sehingga tidak bisa mempermainkan harga.
“Sebelumnya, tengkulak langsung beli ke petani. Petani pun paceklik karena harga dipermainkan tengkulak. Jenis usaha ini untuk mengatasi persoalan tersebut,” ujar Ton.