JAKARTA, KOMPAS – Penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dalam industri perbankan mulai menurun. Hal ini menjadi peringatan keras bagi industri perbankan, karena praktik kecurangan atau fraud untuk aksi pembobolan dana mulai marak terjadi.
Berdasarkan hasil survei Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), rata-rata praktik tata kelola perusahaan yang baik (GCG) untuk industri perbankan adalah 2,02. Survei dilakukan dengan metode penilaian mandiri terhadap 11 aspek yang diisi jajaran direksi 90 bank di Indonesia. Penilaian menggunakan angka 1 sampai 5. Angka yang semakin tinggi menunjukkan penilaian GCG yang semakin buruk.
Kepala Riset LPPI Lando Simatupang mengatakan, dalam survei serupa yang dilakukan pertama kali pada 2006, nilai rata-rata GCG industri perbankan di kisaran 1, yang berarti sangat baik. Namun, setelah setahun diterapkan, nilai GCG perbankan meningkat.
“Sepanjang 2011 sampai dengan 2015, industri perbankan menghadapi persoalan yang tidak ringan, terkait maraknya fraud yang menggerogoti bank umum,” ujarnya di Jakarta, Selasa (31/7/2018).
Dari 90 bank yang dipilih sebagai contoh penelitian, terungkap bahwa industri perbankan yang belum menerapkan GCG secara baik adalah perbankan yang termasuk dalam kategori bank kecil.
Kategori bank kecil yang dimaksud adalah Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) I atau bank yang memiliki modal inti kurang dari Rp 1 triliun dan BUKU II yang memiliki modal inti Rp 1 triliun dengan kurang dari Rp 5 triliun.
“Berdasarkan hasil riset LPPI, nilai penerapan GCG untuk bank BUKU I rata-rata hanya 2,23. Sementara, BUKU II mendapatkan nilai rata-rata 2,10,” ujar Lando.
Sementara, BUKU III atau bank dengan modal inti Rp 5 triliun-Rp 30 triliun mendapat nilai rata-rata 1,85. Adapun BUKU IV, yakni bank dengan modal inti di atas Rp 30 triliun memperoleh nilai rata-rata 1,25. Dengan hasil ini, Lando menyimpulkan, bank bermodal besar tidak sulit menerapkan GCG karena kualitas sumber daya manusia (SDM).
“Masalah utama bank dalam kategori kecil ini dalam menerapkan GCG adalah persoalan SDM. Semua bank BUKU I dan II tidak sebaik bank BUKU III dan BUKU IV dalam menyiapkan ketahanan organisasi dan kemampuan SDM,” ujarnya.
Direktur Utama LPPI, Hartadi A Sarwono, menuturkan, penerapan GCG relatif lebih baik sebelum industri perbankan memasuki tren perbankan digital. Artinya, saat telah memasuki tren keuangan digital, seluruh industri perbankan dituntut untuk meningkatkan kapasitas SDM. Hal ini tentu memberatkan bank dengan modal kecil.
“Investasi di bidang teknologi informasi itu membutuhkan ongkos yang sangat tinggi, tidak hanya untuk perangkat keras dan perangkat lunak, tetapi juga pada SDM,” ujarnya.
Ketua Dewan Audit Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ahmad Hidayat, sepakat bahwa tantangan terbesar industri perbankan dalam penerapan GCG adalah perubahan prilaku konsumen seiring kemajuan teknologi. Hal ini menuntut daya adaptasi yang baik bagi SDM di industri perbankan.
“Dulu semua masih dilakukan secara manual, tatap muka, transaksinya ke teller, atau datang ke ATM. Saat ini semuanya bisa terlaksanakan dengan berbagai media. GCG juga harus membutuhkan standar tersendiri untuk menangani kebutuhan dan perkembangan teknologi,” ujarnya.