JAKARTA, KOMPAS--Rencana pemerintah membatalkan kebijakan kewajiban penjualan batubara ke dalam negeri dengan harga khusus harus mempertimbangkan beban keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Sebab, kebijakan itu bakal membuat PLN membeli batubara sesuai harga pasar.
Kepastian mengenai kebijakan ini akan diputuskan dalam rapat terbatas di Kantor Presiden pada Selasa (31/7/2018).
Kebijakan kewajiban penjualan domestik batubara dikenal sebagai domestic market obligation (DMO) batubara. Kebijakan ini diatur dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Seluruh pemegang izin usaha pertambangan (IUP) batubara dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) wajib menjual batubara ke PLN sedikitnya 25 persen dari total produksi.
Dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Jual Batubara untuk Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum, PLN mendapat harga khusus. Keputusan tersebut menetapkan harga batubara yang dijual ke PLN seharga 70 dollar AS per ton untuk batubara dengan nilai kalori 6.322 per kilogram. Artinya, PLN tidak membeli batubara dengan harga pasar yang bulan ini dipatok 104,65 dollar AS per ton.
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radhi, mengatakan, rencana pembatalan kebijakan DMO berikut harga khususnya akan kian membebani PLN. Sebab, PLN bakal membeli batubara mengikuti harga pasar. Pemberian subsidi 2 dollar AS hingga 3 dollar AS per ton batubara yang diekspor dinilai belum signifikan.
“Di tengah kenaikan harga energi primer, seperti batubara dan minyak mentah, rencana penghapusan DMO itu akan semakin membebani PLN. Apalagi, pemerintah sudah memastikan tidak akan ada kenaikan tarif listrik di tengah kenaikan harga energi primer tersebut,” ujar Fahmy saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (29/7/2018).
Fahmy menambahkan, pada intinya, kebijakan tersebut tidak boleh menyebabkan kerugian terhadap keuangan PLN. Sebab, PLN masih menanggung beban menaikkan rasio elektrifikasi di Indonesia yang membutuhkan investasi dalam jumlah sangat besar, termasuk program 35.000 megawatt (MW). Ia menilai, rencana pembatalan kebijakan DMO tersebut hanya menguntungkan pengusaha batubara.
Manajer Advokasi pada Publish What You Pay Indonesia -koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas sumber daya ekstraktif-, Aryanto Nugroho, mengatakan, kebijakan pembatalan DMO sebaiknya tidak berdampak pada rencana penambahan produksi demi mengejar tambahan devisa dari ekspor batubara. Sebab, hal itu berpotensi menimbulkan obral penerbitan izin tambang batubara di daerah.
“Selain itu, peningkatan produksi dikhawatirkan berdampak pada daya dukung lahan,” ujar Aryanto.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan, rencana kebijakan pembatalan DMO masih dibahas.