Selasa (24/7/2018), rupiah berada di titik terlemah tahun ini. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah di posisi Rp 14.541 per dollar AS. Bahkan, di tengah pelemahan dollar AS pada awal pekan ini, rupiah masih belum bangkit secara maksimal.
Benarkah pelemahan itu hanya karena faktor eksternal dari Amerika Serikat? Di satu sisi, AS tetap berkontribusi terhadap ketidakpastian ekonomi dan keuangan global. Jumat (20/7), Presiden AS Donald Trump yang menuduh China mempraktikkan perdagangan tidak adil dan memanipulasi mata uang, membuat ketidakpastian global menguat.
Trump juga mengaku tak senang terhadap langkah Bank Sentral AS, The Fed, yang menaikkan suku bunga acuan secara bertahap. Sebab, suku bunga yang tinggi akan membuat dollar AS semakin kuat sehingga harga pokok produksi di dalam negeri menjadi lebih mahal dan tidak dapat bersaing dengan produk China dan Eropa.
Pernyataan itu membuat pelaku pasar khawatir Trump mengintervensi The Fed, sebagai lembaga independen dan menjadi acuan bank sentral seluruh dunia. Namun, kondisi pasar tidak hanya dipengaruhi kata-kata Trump, tetapi juga kebijakan Bank Sentral China (PBoC) yang melemahkan yuan. China sengaja melemahkan nilai tukar yuan untuk mendorong ekspor dengan cara membuat harga produk lebih murah bagi negara lain. Selain itu, agar dapat mengimbangi kenaikan harga yang disebabkan penerapan tarif AS.
Pelaku pasar, ekonom, dan pejabat tinggi sejumlah negara menyatakan perang dagang berlanjut ke perang mata uang, yang membuat kondisi keuangan global makin tidak menentu.
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam Laporan Tahunannya menyebutkan, pertumbuhan ekonomi global akan dipengaruhi nilai tukar dan ketidakseimbangan neraca transaksi berjalan antarnegara. Nilai tukar dan surplus neraca berjalan akan semakin terkonsentrasi di negara-negara maju.
Saat ini, hampir separuh neraca transaksi berjalan global menunjukkan kondisi surplus atau defisit yang berlebihan. Hal itu berpotensi menambah risiko pertumbuhan ekonomi global dan meningkatkan tekanan perang dagang.
Laporan itu menyebutkan, nilai tukar dollar AS saat ini bernilai tinggi bagi negara-negara lain. Adapun yuan China sejalan dengan fundamen perekonomian, meskipun melemah dalam beberapa pekan terakhir. Kepala Ekonom IMF Maurice Obstfeld dalam Wall Street Journal menyatakan, ketidakseimbangan yang terus berlanjut itu akan menimbulkan risiko bagi tiap negara dan ekonomi global. Hal itu akan menyebabkan penyesuaian mata uang dan harga aset secara tajam.
Faktor-faktor eksternal itu semakin kuat menekan Indonesia. Di sektor perdagangan, pertumbuhan ekspor melambat dan berpotensi terus turun. Pemerintah berencana mengurangi impor dengan cara melakukan substitusi impor dan menunda impor. Kita tunggu realisasinya.