JAKARTA, KOMPAS — Penjaminan pengadaan barang dan jasa atau surety bond dimungkinkan sebagai perluasan lini usaha perusahaan asuransi. Meski demikian, masih diperlukan kesepahaman antara perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, dan regulator terkait dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
”UU No 40/2014 tentang Perasuransian memang tidak menyebutkan soal surety bond. Lalu, apakah perusahaan asuransi bisa mengarah ke sana? Ada pasal di sana bahwa lini usaha asuransi bisa diperluas sesuai kebutuhan masyarakat yang diatur oleh otoritas, yakni OJK,” kata Deputi Komisioner Pengawas IKNB II OJK Mochamad Ihsanuddin dalam seminar ”Masa Depan Surety Bond dan Unit Link”, Kamis (26/7/2018), di Jakarta.
Di dalam UU tentang Penjaminan dinyatakan bahwa usaha penjaminan dilakukan perusahaan penjaminan. UU itu diundangkan pada Januari 2016 dan memiliki masa transisi selama dua tahun sebelum UU tersebut berlaku efektif pada 2019.
Sebelum UU tentang Penjaminan terbit, produk penjaminan barang dan jasa itu telah diterbitkan perusahaan asuransi. Dengan terbitnya UU Penjaminan, muncul pertanyaan terkait dengan kemungkinaan bagi perusahaan asuransi umum untuk menerbitkan produk penjaminan barang dan jasa atau surety bond.
Menurut Ihsanuddin, meskipun penjaminan barang dan jasa tidak disebut dalam UU Perasuransian, terdapat kemungkinan perluasan ruang lingkup perusahaan asuransi sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Adapun saat ini terdapat 49 perusahaan asuransi kerugian yang tercatat di OJK.
”Ternyata ada Peraturan OJK No 69/2016 yang menyatakan perluasan lini usaha asuransi itu antara lain surety bond. Saya kira sudah cukup,” ujar Ihsanuddin.
Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dadang Sukresna mengatakan, saat ini terdapat 49 perusahaan asuransi yang menerbitkan surety bond untuk konstruksi dan terdapat 44 perusahaan asuransi yang menerbitkan surety bond nonkonstruksi. Dengan mendasarkan pada UU Perasuransian dan POJK No 69/2016, AAUI diperbolehkan memperluas ruang lingkupnya mencakup surety bond.
”Mudah-mudahan perbedaan ini bisa kita sikapi bersama dan bisa kita garap lebih baik lagi. Karena kalau berkepanjangan akan berdampak pada proyek-proyek yang akan datang,” kata Dadang.
Sementara itu, pengamat surety bond AA Ngurah Adnyana Dipta mengatakan, antara tahun 1984 dan 1994, penerbit surety bond adalah perusahaan asuransi, yakni Jasa Raharja. Menurut Dipta, surety bond tidak sama dengan produk penjaminan. Dengan demikian, masing-masing pihak tetap bisa memasarkan produknya.
”Perusahaan asuransi tidak perlu spin off untuk menjual produk surety bond karena sudah melaksanakan kegiatan ini selama 40 tahun sebelum lahirnya UU tentang Penjaminan,” kata Dipta.
Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Penjaminan Indonesia Amin Masudi mengatakan, melalui UU Penjaminan, perusahaan penjaminan diperbolehkan melakukan penjaminan untuk surat utang yang diterbitkan usaha kecil dan menengah serta obyek lain seperti surety bond yang akan bersinggungan dengan perusahaan asuransi umum.
”Kami akan ikuti aturan. Pekerjaan rumah kami adalah menyiapkan diri untuk memenuhi UU Penjaminan, yakni menyangkut kesiapan teknologi informasi, sumber daya manusia, hingga product knowledge-nya. Mengenai boleh tidaknya perusahaan asuransi itu di ranah regulator,” kata Amin.
Ketua Umum Himpunan Perasuransian Penjaminan Negara Asmawi Syam menambahkan, penggabungan produk dari satu sektor ke sektor lain sudah jamak terjadi di era digital. Salah satu contoh adalah unit link atau ketika BRI yang merupakan bank meluncurkan satelit yang merupakan ranah telekomunikasi. Terlebih lagi, saat ini banyak bermunculan perusahaan teknologi finansial yang masuk ke wilayah jasa keuangan perbankan.
Melihat perkembangan yang terjadi, menurut Asmawi, perdebatan antara perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan bisa dibicarakan. Kedua belah pihak pun dapat menerbitkan produk tersebut. (NAD)