JAKARTA, KOMPAS - Penyelundupan mainan diduga masih tinggi. Aktivitas ilegal itu melalui pelabuhan kecil yang lemah pengawasan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia (APMI) Johan Tandanu, usai konferensi pers Indonesia International Toys & Kids Expo 2018, Senin (23/7/2018), di Jakarta, mengatakan, model yang sering dipakai adalah borongan. Artinya, dalam satu muatan berisi aneka jenis mainan buatan pabrik luar negeri, tidak ada surat izin resmi, lalu dikirim menuju pelabuhan kecil.
Cara lain, muatan itu dikirim ke negara persinggahan atau transit, kemudian dikemas ulang dan diangkut menggunakan kapal ikan. Tujuan pengangkutan yaitu pelabuhan kecil di Indonesia.
"Pemain terbesar di industri mainan sekarang adalah China. Hasil produksinya diekspor ke seluruh dunia. Barang sisa ekspor saja menjadi rebutan para trader, kemudian mereka mengemasnya dalam satu muatan berisi aneka jenis, bervolume besar," ujar Johan.
Kasus lain yang kerap ditemui adalah penyelundupan mainan palsu atau menjiplak hak cipta sah. Kasus seperti ini perputaran perdagangannya cepat, sehingga menyulitkan penyelidikan hukum.
Ketua Umum Asosiasi Mainan Indonesia (AMI) Sutjiadi Lukas menyebutkan, hingga akhir tahun 2017, sekitar 65 persen pasar mainan dalam negeri berasal dari produk impor, sedangkan 35 persen sisanya buatan lokal. Meski masih timpang, dia memandang situasi itu lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya. Salah satu faktor yang mempengaruhi yaitu upaya pemerintah mengoptimalisasi penertiban impor beresiko tinggi.
"Produksi mainan lokal secara perlahan mulai bergeliat mulai dari skala usaha kecil, menengah, hingga besar. Ditambah lagi, ada beberapa importir beralih menjadi produsen," kata dia.
Geliat positif itu, lanjut Sutjiadi, tidak diikuti dengan kebijakan pendukung di sisi hulu. Misalnya, pengurusan wajib standar nasional Indonesia (SNI). Prosesnya membutuhkan waktu lama. Biayanya pun dirasa mahal bagi produsen berskala UKM, sekitar Rp 20-an juta untuk satu famili mainan.
Namun, pada saat bersamaan, permintaan mainan di dalam negeri terus meningkat. Kapasitas produksi pemain lokal belum kuat. Dia mengilustrasikan, untuk memproduksi mainan bervolume sama, produsen Indonesia memerlukan 20 mesin, sementara asing cukup 5 mesin. Untuk mengisi pasar, impor pun didatangkan, termasuk borongan atau penyelundupan.
Johan menyarankan, pemerintah seharusnya lebih aktif meningkatkan pengawasan mainan masuk. Aktivitas di pelabuhan hingga logistik diperketat.
Adapun Sutjiadi berharap, pemerintah lebih memperhatikan pelaku industri mainan lokal. Salah satu usulan dia yaitu memperbaiki sistem pengurusan SNI mainan.
Sementara itu, General Manager ChaoYu Expo (penyedia jasa penyelenggaraan pameran asal China) Jason Chen mengatakan, sekitar tiga puluh tahun lalu, mainan produksi produsen Amerika Serikat dan Eropa pernah mendominasi pasar global. Namun, belasan tahun terakhir, produksi China mulai menggeser dominasi itu. Mereka bahkan gencar masuk dan menggarap pasar mainan di negara berkembang, seperti di kawasan Asia Tenggara.
Di Indonesia, Chaoyu Expo terlibat dalam penyelenggaraan pameran bisnis ke bisnis (B2B) terkait mainan dan perlengkapan anak bernama Indonesia International Toys & Kids Expo. Pameran ini telah memasuki tahun ketiga penyelenggaraan. Chaoyu Expo bekerja sama dengan Peraga Expo.
Menurut Jason, setiap tahun, International Toys & Kids Expo juga menjadi ajang pertemuan bisnis pengusaha mainan China dengan Indonesia. Pada penyelenggaraan tahun 2017, misalnya, 50 pengusaha mainan asal China bertemu 20 perusahaan lokal yang dilanjutkan transaksi perdagangan dan kunjungan pabrik ke China.
Mengutip laman Kementerian Perindustrian, ekspor komoditas mainan hingga September 2017 mencapai 228,39 juta dollar AS atau naik 8,97 persen dibandingkan periode sama tahun 2016, yakni 209,59 juta dollar AS.