Lelang, SBI Masih Diminati
JAKARTA, KOMPAS--Bank Indonesia mereaktivasi Sertifikat Bank Indonesia dengan tenor atau jangka waktu 9 bulan dan 12 bulan mulai Senin (23/7/2018). Nilai penawaran lelang perdana Sertifikat Bank Indonesia kemarin sebesar Rp 14,2 triliun.
Dari jumlah itu, Bank Indonesia menyerap Rp 5,9 triliun.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara kepada Kompas, Senin mengatakan, BI telah mereaktivasi dan melelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
"Reaktivasinya kan mudah. Setiap hari BI melakukan operasi moneter menarik ekses likuiditas, instrumennya Reverse Repo Surat Berharga Negara (SBN) dan Sertifikat Deposito BI (SDBI) untuk beberapa tenor. Yang SDBI diganti dengan reaktivasi instrumen SBI," ujar Mirza.
Setelah bank memegang SBI itu selama masa tunggu atau holding period 7 hari, lanjut Mirza, maka SBI boleh dijual ke investor domestik lain atau dijual ke investor asing.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsyah menambahkan, nilai penawaran pada lelang perdana SBI tersebut mengindikasikan minat perbankan terhadap SBI yang masih besar.
Penerbitan kembali SBI menambah alternatif instrumen pasar uang. Sebab, instrumen tersebut akan aktif diperdagangkan di pasar sekunder. Selain itu, bisa dibeli investor asing.
“Tidak ada perubahan ketentuan lelang SBI dari yang sebelumnya. Salah satunya ketentuan masa tunggu 7 hari. Dengan adanya ketentuan itu, bank pemenang lelang SBI tidak boleh menjualnya dalam 7 hari. SBI baru bisa dijual ke investor asing atau yang lain, sepekan setelah lelang,” ujar Nanang.
Sebelumnya, BI memutuskan untuk menghapus SBI secara bertahap hingga 2024. Sejak 16 Desember 2016, BI tidak lagi melelang SBI. Penghapusan SBI untuk mempercepat penggunaan SBN sebagai dasar transaksi operasi moneter.
BI pernah mengalami defisit akibat pembayaran bunga dan pembelian kembali SBI. Neraca BI pada 2009 defisit Rp 1,009 triliun dan pada 2010 sebesar Rp 21,159 triliun.
Sementara itu, perang dagang AS-China semakin menguat karena tidak hanya menyangkut tarif, tetapi juga soal mata uang. Perang mata uang itu perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan pasar keuangan semakin tidak jelas dan memicu modal asing keluar dari negara-negara berkembang.
Pada Jumat pekan lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump tidak hanya menuduh China melakukan praktik perdagangan yang tidak adil, tetapi juga memanipulasi mata uang. Trump menuding China dan Uni Eropa mendevaluasi nilai tukar mata uang dan menurunkan suku bunga. Sejak triwulan I-2018, yuan melemah 7,5 persen, sehingga mencetak rekor terendah senilai 6.767 yuan per dollar AS.
Rupiah
Nilai tukar rupiah pada Senin (23/7) ditutup menguat tipis dibandingkan dengan Jumat (20/7). Kemarin, nilai tukar rupiah berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate sebesar Rp 14.454 per dollar AS. Adapun pada Jumat, nilai tukar Rp 14.520 per dollar AS, atau yang terlemah sejak awal tahun ini.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan, perang dagang telah berlanjut ke perang mata uang. China telah memulai pelemahan yuan. Akan tetapi, jika dilihat dari grafiknya, masih merupakan tahap awal, sehingga devaluasinya belum separah negara-negara berkembang.
China sengaja melemahkan nilai tukar mata uangnya untuk mendorong ekspor dengan membuat harga produk menjadi lebih murah bagi negara lain. Tujuan lainnya, agar dapat mengimbangi kenaikan harga yang disebabkan penerapan tarif AS.
"China melakukannya secara terukur, karena kalau devaluasi berlebihan bisa menyebabkan modal asing keluar. Penurunan yuan rata-rata per hari masih 0,5 persen dan tergolong halus devaluasinya. Hal itu berbeda ketika pada 2015 rata-ratanya per hari 0,7 persen dan sifat devaluasinya kasar," kata dia.
Menurut Bhima, saat ini China sudah mulai beralih ke konsumsi dalam negeri yang bahan bakunya bergantung impor. Jika bahan baku mahal, inflasi bisa meningkat, sehingga menurunkan daya beli konsumen China.
Kebijakan China itu akan menyebabkan negara seperti Indonesia kebanjiran produk China. Di sisi lain, peluang meningkatkan ekspor melalui celah perang dagang akan semakin tipis, karena harga produk masih kalah kompetitif.