Konsumen Dilindungi
JAKARTA, KOMPAS--Payung hukum untuk layanan industri teknologi finansial urun dana masyarakat berbasis saham sedang disiapkan. Aturan diperlukan untuk melindungi seluruh aspek yang berkaitan dengan konsumen, baik masyarakat penerima dana maupun investor.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menggodok aturan tersebut.
Model layanan yang dikenal dengan sebutan equity crowdfunding ini adalah penggunaan modal dari sejumlah individu berlatar belakang investor dan pengusaha untuk membiayai usaha bisnis baru. Aktivitas ini memanfaatkan aksesibilitas dari jejaring media sosial dan platform crowdfunding atau gotong-royong.
Kepala Departemen Grup Pengembangan Inovasi Keuangan Mikro OJK Triyono Gani membenarkan, OJK sedang menyiapkan Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) untuk equity crowdfunding. Peraturan disiapkan karena layanan ini berpotensi memberi manfaat bagi masyarakat.
“Jika ada inovasi lain dari tekfin yang dapat berdampak positif, OJK akan mengkaji peraturan baru untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat dan dunia bisnis,” ujar Triyono, di Jakarta, Senin (23/7/2018).
Triyono melanjutkan, layanan crowdfunding atau dana gotong-royong atau urun dana masyarakat ini berbeda dengan layanan pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi atau peer to peer lending. Layanan pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi memberikan pengembalian berupa bunga, sedangkan dana gotong-royong atayu urun dana memberikan pengembalian dalam bentuk saham kepemilikan.
Layanan P2P Lending sudah diatur dalam POJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Menurut data OJK per Mei 2018, ada 64 perusahaan yang menyediakan layanan pinjam-meminjang uang antarpihak berbasis teknologi. Pada Mei 2018, ada 199.539 pemberi pinjaman dan 1.850.632 peminjam.
Berbeda
Dalam aturan tentang layanan tekfin urun dana masyarakat berbasis saham yang tengah disiapkan, penerapan penawaran sahamnya berbeda dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Salah satu hal yang membedakan, penawaran saham hanya boleh dilakukan penyelenggara tekfin yang terdaftar di OJK.
Berdasarkan RPOJK yang tengah disusun, equity crowdfunding adalah penyelenggaraan layanan penawaran saham yang dilakukan perusahaan untuk menjual saham secara langsung kepada pemodal melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.
“Equity crowdfunding ini hampir sama seperti perusahaan yang mencari pendanaan di Bursa Efek Indonesia lewat penawaran umum saham perdana, sehingga terbuka kesempatan bagi pelaku usaha kecil, mikro, dan menenengah maupun rintisan mendapat pendanaan di luar pasar modal dan perbankan,” ujar Triyono.
Di dalam draf POJK tertulis jangka waktu penawaran dana paling lama 12 bulan dengan nilai saham yang ditawarkan maksimal Rp 6 miliar. Sementara itu, jumlah pemegang saham penerbit tidak boleh lebih dari 300 entitas dengan jumlah modal disetor tak lebih dari Rp 18 miliar.
Adapun bentuk perusahaan tekfin berbasis equity crowdfunding harus memiliki modal minimal Rp 2,5 miliar saat mengajukan izin. Untuk membentuk perusahaan tekfin, satu perusahaan hanya diperbolehkan mendapat satu izin.
Triyono menargetkan RPOJK mengenai equity crowdfunding akan rampung secepatnya. Selanjutnya, industri tekfin berjenis dana gotong-royong akan diminta mendaftar ke OJK.
Kepala Riset Narada Aset Manajemen, Kiswoyo Adi Joe, mengungkapkan, langkah OJK merancang aturan equity crowdfunding perlu disambut positif. Selain memperluas akses pendanaan, aturan tersebut sekaligus mampu menambah keberagaman produk di pasar modal.
Dia menilai, langkah OJK menyiapkan payung hukum bagi industri tekfin berbasis dana gotong-royong sebagai langkah positif di tengah usaha rintisan yang menjamur. Produk pendanaan baru tersebut diharapkan dapat memperluas dan mendorong perkembangan perusahaan rintisan di Tanah Air. (DIM)