JAKARTA, KOMPAS - Reaktivasi Sertifikat Bank Indonesia dan penerapan IndONIA dinilai akan turut menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Rencana Bank Indonesia itu sangat diperlukan di tengah pelemahan rupiah terhadap dollar AS yang semakin mendalam.
Di sisi lain, aktivasi kembali Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dapat memicu perebutan dana antara SBI dengan Surat Berharga Negara (SBN) dan surat utang swasta. BI juga akan terbebani membayar bunga SBI, sehingga berpotensi membuat neraca BI defisit seperti pernah terjadi sebelumnya.
Pada penutupan pasar Jumat pekan lalu, rupiah jatuh semakin dalam. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah berada di posisi terendah tahun ini, yakni Rp 14.520 per dollar AS. Pada 29 September 2015, nilai tukar rupiah sempat Rp 14.728 per dollar AS.
Hal itu terjadi karena rencana Bank Sentral AS menaikkan suku bunga acuan sebanyak dua kali pada paruh kedua tahun ini semakin kuat. Faktor lainnya adalah Bank Sentral China (PBoC) menyesuaikan nilai tukar Yuan terhadap dollar AS sehingga renminbi semakin melemah, berada ke level terendah dalam satu tahun terakhir.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede kepada Kompas, Minggu (22/7/2018), mengatakan, nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan dipengaruhi sentimen eksternal, yakni perkembangan isu perang dagang yang berpotensi berdampak negatif pada prospek pertumbuhan ekonomi negara berkembang. BI telah meresponnya dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin atau satu persen dan intervensi ganda di pasar valas dan surat berharga.
Dalam waktu dekat ini, BI kemungkinan besar akan semakin memperketat kebijakan moneter guna menjaga stabilitas rupiah. BI juga akan menjaga daya saing aset-aset keuangan berdenominasi rupiah dengan memperkuat operasi pasar terbuka.
"Operasi pasar terbuka akan diperkuat dengan mereaktivasi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tenor 9 dan 12 bulan. Upaya itu diperkirakan akan menarik masuknya dana asing di pasar uang serta menyerap likuiditas rupiah, sehingga akan mendorong stabilitas rupiah dalam jangka pendek," kata dia.
Perebutan dana
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengemukakan, SBI bisa menarik dana asing masuk ke pasar keuangan sehingga menguatkan devisa kendati efeknya jangka pendek. Di sisi lain, dana asing yang masuk itu rentan keluar lagi jika terjadi gejolak berlebih di ekonomi global.
Selain itu, ada potensi terjadinya perebutan dana antara BI dan pemerintah. Di satu sisi SBN pemerintah berkurang daya tariknya akibat naiknya risiko imbal hasil dengan surat utang pemerintah, sehingga kepemilikan asing di SBN cenderung menurun.
“Jika perebutan dana terjadi dikhawatirkan pemerintah akan memberikan bunga kupon lebih mahal, kendati peringkat kreditnya masih cukup bagus,” kata dia.
Menurut Bhima, reaktivasi BI juga dapat memunculkan crowding out effect. Investor akan lebih memilih SBI ketimbang SBN pemerintah dan surat utang swasta. Investasi yang seharusnya masuk ke pemerintah dan swasta untuk menggerakkan ekonomi justru terhenti di SBI.
Perebutan dana itu juga akan mendorong swasta meningkatkan bunga surat utang agar tidak kalah dari SBI dan SBN. Apalagi tren pembiayaan swsata saat ini adalah mencari pendanaan alternatif melalui pasar modal, seperti penerbitan saham (IPO dan rights issue), obligasi korporasi, Medium Term Notes (MTN), dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD).
“Per Mei 2018, pembiayaan melalui pasar modal itu meningkat 60,2 persen secara tahunan. Kalau tidak berhati-hati, kejar kejaran dana di pasar keuangan itu ujung-ujungnya bisa mengerek biaya pinjaman atau cost of borrowing pelaku usaha,” kata dia.
Bhima menambahkan, BI perlu mencermati kondisi kas internal untuk membayar bunga SBI. Hal itu penting mengingat patokan SBI menggunakan bunga acuan BI yang trennya sedang naik. Beban pembayaran bunga bisa menjadi kewajiban kontijensi jangka panjang. Jangan sampai BI mengulang defisit yang pernah terjadi sebelumnya.
BI pernah mengalami defisit akibat pembayaran bunga dan pembelian kembali SBI. Neraca BI pada 2009 defisit sebesar Rp 1,009 triliun dan pada 2010 sebesar Rp 21,159 triliun.
Pasar uang
Terkait InDONIA, Josua menyatakan, BI akan menggunakan IndONIA untuk menggantikan JIBOR Overnight. IndONIA berbeda dengan JIBOR Overnight yang merupakan suku bunga atas transaksi pinjam-meminjam antar bank yang diperoleh dari kuotasi beberapa bank kontributor JIBOR.
Dengan IndONIA, transaksi diharapkan lebih kredibel dan mencerminkan kondisi likuiditas di pasar. Hal itu mengingat IndONIA diperoleh dari rata-rata tertimbang suku bunga Pasar Uang Antra Bank (PUAB) yang ditransaksikan di pasar.
"Hal itu akan mendorong pendalaman pasar transaksi derivatif karena akan semakin banyak pelaku pasar melakukan transaksi lindung nilai. Dengan demikian, transasksi perdagangan valas tidak lagi terkonsentrasi pada pasar spot, sehingga mendorong stabilnya nilai tukar rupiah," ujarnya.
Dalam transkasi derivatif ada perhitungan premium transaksi lindung nilai, seperti Cross Currency Swap dan Call Spread Option. Melalui instrumen itu, bank-bank yang melakukan transaksi valas wajib melakukan lindung nilai untuk memitigasi risiko. Salah satu risiko itu adalah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.