JAKARTA, KOMPAS – Relaksasi rasio pinjaman terhadap aset atau loan to value menjadi ruang yang lebih luas bagi pengembang dan perbankan untuk memasarkan produknya. Agar optimal mendorong perekonomian nasional, kebijakan makroprudensial perlu didukung kebijakan lain.
“Saat ini ada ruang yang banyak bagi pengembang untuk berkreasi untuk meramu sistem penjualannya. Relaksasi LTV adalah salah satu obat tapi bukan satu-satunya. Dan bergeraknya di sektor perbankan. Namun properti bukan hanya terkait perbankan,” kata Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata dalam diskusi “Prospek Bisnis Mortgage Setelah Relaksasi LTV”, Kamis (12/7/2018), di Jakarta.
Soelaeman mengatakan, kebijakan relaksasi rasio pinjaman terhadap aset yang diumumkan Bank Indonesia (BI) berhubungan dengan perbankan dalam pembiayaan rumah komersial atau nonsubsidi. Sementara, sektor properti tidak hanya soal rumah dan terkait perbankan saja. Sektor properti juga mencakup nonhunian dan terkait dengan sektor lain, seperti perpajakan, pertanahan, perizinan, undang-undang, tata ruang, dan infrastruktur.
Namun demikian, lanjut Soelaeman, kebijakan tersebut telah memberi ruang yang lebar bagi pengembang untuk berkreasi memasarkan produknya. Ruang untuk mengatur uang muka bagi rumah pertama serta kelonggaran yang diberikan hingga fasilitas kredit rumah kelima menuntut pengembang untuk kreatif membuat produknya menarik.
Meskipun di sisi lain BI 7-Days Reverse Repo Rate dinaikkan, Soelaeman berharap agar perbankan tetap menahan bunga kredit konstruksi maupun kredit pemilikan rumah (KPR). “Kami berharap ada waktu di mana bunga KPR dan konstruksi distabilkan di titik ini dalam waktu tertentu, mungkin 2-3 tahun,” ujar Soelaeman.
Direktur Konsumer Bank Rakyat Indonesia Handayani mengatakan, relaksasi LTV akan membuka peluang pasar baru, misalnya bagi kaum muda produktif usia 18-35 tahun. Dengan gaya hidup lebih mementingkan berwisata, segmen ini lebih menyukai menyewa rumah atau apartemen. Itu berarti para investor diberi kemudahan untuk mengakses fasilitas KPR hingga rumah kelima untuk kemudian disewakan.
“Ini sangat membantu ketika beberapa waktu lalu, segmen ini tidak bergeming dan mereka lebih menempatkan dananya pada produk perbankan konvensional. Jadi ini bs membentuk ekosistem antara suplai dengan permintaan,” kata Handayani.
Asisten Gubernur BI Dan Kepala Departmen Kebijakan Makroprudensial BI Filianingsih Hendarta mengatakan, relaksasi LTV diambil BI untuk mendorong penyaluran kredit properti. BI melihat masih ada potensi karena siklus pembiayaan properti triwulan I-2018 dinilai belum mencapai puncaknya.
Selain itu, lanjut Filianingsih, kinerja pengembang dianggap juga mulai membaik. Dengan ruang kebebasan bagi bank untuk menentukan uang muka, maka bank bisa memanfaatkannya, termasuk bernegosiasi dengan pengembang.
“Kami berharap perbankan harus lebih efisien. Lalu kami juga tidak bisa apa-apa kalau pihak lain tidak berkontribusi,” kata Filianingsih.
Ekonom senior Raden Pardede mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia dipengaruhi faktor dari luar negeri maupun dalam negeri. Maka, untuk menghadapinya diperlukan solusi yang komprehensif.
Pengetatan di satu sisi mesti diimbangi dengan pelonggaran di sisi yang lain. Relaksasi LTV merupakan langkah yang tepat. Namun, persoalan properti tidak hanya soal LTV. “Ada soal lain seperti harga tanah. Maka dukungan fiskal mesti bergerak. Karena kalau fiskal bergerak, lalu pendapatan masyarakat bisa naik, berapapun angka LTV-nya, masyarakat tetap beli rumah,” kata Raden. (NAD)