JAKARTA, KOMPAS - Layanan teknologi finansial untuk pinjaman dan pembayaran dinilai membantu peningkatan inklusi keuangan pengusaha mikro. Sosialisasi dan pemasaran layanan perlu menggunakan pendekatan sosial sehingga tujuan tercapai.
Social System Lead Pulse Lab Jakarta, Maesy Angelina, di sela-sela diskusi Unlocking The Potential of The Digital Economy for Regional Development di Jakarta, Rabu (11/7/2018) menyatakan, perusahaan sering menawarkan dengan memaparkan spesifikasi teknis layanan teknologi finansial (tekfin) beserta fungsinya. Namun, langkah itu sering tidak diikuti penjelasan kegunaan langsung untuk aktivitas pengusaha mikro.
Situasi itu ditemukan saat meriset 100-an pelaku usaha mikro di Bekasi, Jakarta, Jawa Tengah, dan Ciseeng (Bogor, Jawa Barat). Responden merupakan pengguna jasa tekfin Go-Pay, BTPN Wow!, dan Amartha.
Maesy menambahkan, responden sudah menggunakan perangkat teknologi untuk berkomunikasi dan berinternet, seperti ponsel pintar. Namun, mereka mengaku tidak terlalu nyaman. Mereka lebih menyukai menelepon dan berkirim pesan pendek (SMS). Membuka aplikasi media sosial dan pesan jarang dilakukan. Mereka selalu sibuk dengan aktivitasnya sebagai pengusaha mikro. Namun, mereka menganggap kehadiran tekfin membantu dan memudahkan akses ke produk keuangan.
"Jika pendekatan pemasaran layanan berbasis use case, pengusaha mikro segera tanggap mengadopsi layanan. Sebagai contoh, tetangganya telah memanfaatkan layanan lebih dulu, maka mereka percaya dan mau memakai. Agen-agen perusahaan tekfin yang diambil dari warga sekitar bakal lebih mudah diterima," tutur dia.
Temuan lain, pengusaha mikro belum paham pentingnya perlindungan data pribadi. Sebagai ilustrasi, mereka biasa memberikan kata kunci (password) ke agen mitra perusahaan tekfin. Alasannya agar mereka bisa menyuruh agen untuk menjalankan transaksi kapan saja.
Peneliti ekonomi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Nika Pranata, menceritakan situasi serupa. LIPI meriset 125 orang UMKM di sekitar Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika dan Bali. Mereka pengguna tekfin pinjaman dan pembayaran. Misalnya, TunaiKita, TCash, OVO, TokoCash, dan Mandiri E-Cash.
Sebagian temuannya, responden tetap merasa nyaman bertransaksi memakai uang tunai. Hal ini diduga karena kualitas jaringan internet dan pemahaman mereka terhadap tekfin belum bagus. Mereka juga cenderung tetap meminta pencatatan manual ke agen setiap bertransaksi meski di tiap produk telah disediakan rekaman transaksi secara digital.
Responden mengaku memanfaatkan tekfin peminjaman ketika ada kebutuhan mendadak. "Mereka sebenarnya menginginkan proses pengajuan pinjaman yang tidak ribet. Pencairan dananya pun cepat," tutur Nika.
Chief Operating Officer PT 8villages Indonesia, usaha rintisan penyedia informasi dan jasa pemasaran produk pertanian, Wim Prihanto menambahkan, petani juga masih kesulitan mengakses pinjaman. Di perbankan konvensional, mereka selalu dimintai data pencapaian produksi sebagai bahan bank memproses dokumen pengajuan kredit.
Berangkat dari situasi itu, 8villages mengembangkan fitur skor kredit yang akan diterapkan untuk setiap petani mitra. Skor kredit dapat dipakai perbankan menilai pencapaian produksi. 8villages mempunyai produk AgroMap untuk memetakan petani-petani di Jawa.