JAKARTA, KOMPAS--Pencabutan potongan bea masuk produk ekspor dari negara berkembang ke Amerika Serikat akan berdampak negatif, kendati tidak signifikan. Ekspor masih tetap bisa digenjot dengan meningkatkan daya saing dan memberikan insentif fiskal.
Kendati demikian, pencabutan potongan bea masuk melalui sistem preferensi umum (Generalized System of Preference/GSP) itu akan menurunkan ekspor RI ke AS.
Sebanyak 3.547 produk Indonesia mendapat potongan tarif bea masuk, antara lain agrikultur, tekstil, garmen, dan perkayuan. Saat ini AS sedang meninjau ulang pemberian insentif GSP kepada Indonesia.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, pemerintah akan bertemu Kementerian Perdagangan AS untuk membicarakan perpanjangan fasilitas GSP pada akhir Juli.
“Pencabutan GSP pasti berdampak negatif karena dikenakan tarif bea masuk. Harga jual produk jadi tinggi,” kata Enggartiasto seusai rapat koordinasi tentang antisipasi evaluasi AS terhadap GSP di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (11/7/2018).
Harga jual produk jadi tinggi.
Sejauh ini, komoditas andalan Indonesia yang masuk ke pasar AS antara lain tekstil, alas kaki, minyak sawit, dan permesinan. Sebaliknya, Indonesia juga menjadi negara tujuan utama AS untuk komoditas hortikultura seperti apel dan kedelai.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor nonmigas Indonesia ke AS pada Januari-Mei 2018 sebesar 7,425 miliar dollar AS. Nilai ini 10,91 persen dari total ekspor nonmigas RI pada Januari-Mei 2018 yang mencapai 68,085 miliar dollar AS.
Adapun impor nonmigas RI dari AS pada periode yang sama sebesar 3,865 miliar dollar AS. Nilai itu setara 5,87 persen dari total impor nonmigas RI pada Januari-Mei 2018 yang mencapai 65,888 miliar dollar AS.
Tidak semua produk unggulan Indonesia mendapat fasilitas GSP. Mengutip laporan GSP AS tahun 2016, Indonesia memperoleh manfaat dari kebijakan GSP sekitar 1,8 miliar dolar AS.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, pemberian GSP dari AS hanya bersifat sementara dan bisa dicabut kapan saja. Akar permasalahan yang mesti diatasi pemerintah RI adalah meningkatkan daya saing produk ekspor. Setelah itu, baru mengatasi permasalahan produksi, energi, dan sinkronisasi kebijakan.
“Permasalahan ekspor bukan diatasi dengan pemerintah seakan meminta-minta. Langkah intinya tetap daya saing,” kata Faisal.
Insentif fiskal
Pemerintah tengah merumuskan insentif fiskal untuk menggenjot peningkatan ekspor serta aktivitas ekonomi penghasil devisa lain. Pemberian insentif untuk setiap komoditas berbeda-beda, tergantung persoalan dan kebutuhan industri.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam kesempatan terpisah mengatakan, bentuk insentif fiskal akan disesuaikan dengan kebutuhan industri.
Ia mencontohkan, insentif fiskal bisa diberikan kepada industri bahan baku yang akan membuat hilirisasi, industri impor bahan baku untuk tujuan ekspor, dan industri yang perlu pendampingan khusus.
Saat ini rumusan insentif fiskal masih dikaji Kementerian Keuangan, yakni pada Direktorat Jenderal Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, serta Badan Kebijakan Fiskal.
“Kami merespons yang disampaikan menteri-menteri teknis, terutama bidang perindustrian. Mereka telah menyampaikan profil dan tantangan dari masing-masing industri,” kata Sri Mulyani.
Insentif itu bersifat jangka panjang untuk mendorong ekspor dan mengurangi ketergantungan impor.