JAKARTA, KOMPAS — Perbankan digital telah menjadi arus utama di Indonesia. Oleh karena itu, pelaku industri perbankan konvensional telah memasukkan digital sebagai strategi korporatnya.
Demikian inti laporan PwC, ”Survei Perbankan Digital terhadap Bank-bank di Indonesia” (Juli 2018). Dalam survei ini, PwC mengumpulkan dan merangkum pandangan dari para bankir eksekutif senior dari berbagai lembaga perbankan di Indonesia. Survei juga menceritakan respons dari 52 responden dari 43 bank di Indonesia.
Hasil survei menyebutkan, 66 persen responden terindikasi telah mengembangkan strategi digital sebagai bagian strategi korporat. Sekitar 12 persen responden terindikasi memasukkan strategi digital sebatas bagian strategi di bagian teknologi informasi dan 16 persen menjejalkan strategi digital ke dalam bagian strategi divisi produk dan konsumen. Hanya 4 persen menjadikan digital sebagai strategi terpisah atau berdiri sendiri.
Technology and Risk Consulting Leader PwC Indonesia, Chairil Tarunajaya, di Jakarta, Selasa (10/7/2018), menyebutkan, sekitar 38 persen bank milik negara dan 44 persen dari bank kategori bank umum kegiatan usaha (BUKU) IV telah memasukkan strategi digital sebagai bagian dari strategi korporat perusahaan. Artinya, mereka telah memulai perjalanan menuju transformasi digital.
Sekitar 44 persen dari total responden mengatakan, penerapan strategi digital bertujuan meningkatkan pengalaman konsumen atau karyawan. Lalu, sekitar 32 persen berikutnya menyatakan strategi digital dipakai mendongkrak pertumbuhan pendapatan. Sekitar 14 persen menjawab untuk mengurangi ongkos, 8 persen untuk menaikkan reputasi merek, dan 2 persen untuk proses bisnis.
Sektor industri perdagangan secara elektronik (e-dagang) dan teknologi finansial (tekfin) tengah populer di Indonesia. Kedua sektor ini turut memengaruhi pergerakan industri perbankan konvensional. Sekitar 72 persen responden mengganggap perusahaan teknologi Go-Jek sebagai salah satu pesaing baru dengan fasilitasnya Go-Pay dan lain-lain.
Sekitar 62 persen bankir Indonesia meyakini bahwa Alibaba dengan aneka fasilitas layanan, seperti Alipay, merupakan kekuatan besar yang harus dihadapi dan bisa muncul sebagai pesaing berat bagi industri perbankan dalam waktu dekat.
Perusahaan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi mengubah lanskap industri tekfin Indonesia yang sebelumnya didominasi tekfin pembayaran.
Tekfin
Chairil mengungkapkan, hasil survei menemukan bahwa kantor-kantor cabang fisik masih dianggap memberikan pengalaman layanan terbaik bagi nasabah. Situasi ini bisa dimaknai bahwa konsistensi, sentuhan, keramahan manusia masih dianggap nasabah sebagai salah satu pendukung utama pelayanan.
Hasil survei juga memaparkan pentingnya perlindungan terhadap ancaman kejahatan siber. Sekitar 52 persen responden percaya bahwa risiko atau ancaman kejahatan terhadap data pribadi akan meningkat pada masa mendatang.
Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia Ajisatria Suleiman menambahkan, pada tahun 2016, perusahaan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi mulai bermunculan. Hal itu mengubah lanskap industri tekfin Indonesia yang sebelumnya lebih didominasi tekfin pembayaran.
Seiring waktu, perusahaan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi itu tak hanya mengandalkan perorangan sebagai pemberi dana. Pemberi dana berlatar belakang institusi, seperti perbankan dan lembaga pembiayaan, mulai menggunakan mereka sebagai perpanjangan penyaluran produk kredit.
Kolaborasi semacam itu jadi tren yang diperkirakan berlanjut. Ajisatria menyebutkan tiga tren berkembang di Indonesia. Pertama, penggunaan nonkertas untuk proses dokumentasi layanan keuangan kian diminati. Kedua, data transaksi berukuran besar (big data) jadi bahan perusahaan tekfin atau jasa keuangan konvensional untuk menciptakan produk, pemberian pinjaman, dan analisis perilaku pelanggan. Ketiga, metode pembayaran baru yang semakin sederhana dan terintegrasi.
Sesuai data Otoritas Jasa Keuangan, rasio pinjaman macet per akhir Mei 2018 sebesar 0,64 persen. Adapun pinjaman yang disalurkan melalui layanan pinjam-meminjam Rp 6,16 triliun. Dengan demikian, sekitar Rp 39,424 miliar di antaranya berstatus macet (Kompas, 7/7/2018).
Vice Chairman Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Pudja Unggul Kartiman mengatakan, industri jasa keuangan jadi salah satu sektor yang rentan kejahatan siber. Serangannya bersifat pandemik, seperti kasus program penyerang internet banking bernama Carbanak dan perangkat pemeras WannaCry.
”Kerentanan bertambah ketika kian banyak aplikasi digital jasa keuangan muncul. Pelaku serangan bergeser dari individu jadi berkelompok. Ancaman pun berkembang ke media penyimpanan data berbasis sistem komputasi awan,” katanya.