JAKARTA, KOMPAS--Dampak perang dagang Amerika Serikat dan China terhadap beberapa perekonomian dunia, termasuk Indonesia, tetap menjadi fokus perhatian pemerintah. Kendati dinilai tidak berdampak negatif dalam jangka pendek, namun kepercayaan pasar terhadap kondisi ekonomi Indonesia harus dijaga.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pembahasan seputar dampak perang dagang termasuk strategi antisipasinya terus bergulir dengan sejumlah menteri terkait. Meski demikian, substansi pembahasan belum bisa dipublikasikan karena masih akan dibahas dalam rapat terbatas bersama Presiden, Senin (9/7/2018) siang.
“Kita sudah bahas hal-hal yang dianggap perlu dan akan diusulkan dalam rapat terbatas. Nanti sambungannya ke perang dagang,” kata Darmin seusai rapat koordinasi di kantornya, Minggu (8/7/2018) sore.
Secara terpisah, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan, Indonesia seharusnya memiliki daya tawar di tengah ketidakpastian global dan polemik perang dagang. Untuk itu, pemerintah harus membedah data ekspor-impor ke AS secara detail dan spesifik.
Data ekspor-impor mesti dibedah dari tiga sisi, yakni antara Indonesia-AS, Indonesia-China, dan AS-China. “Agar kebijakan lebih terukur dan spesifik. Data yang digunakan bersumber dari bea cukai, jangan data agregat yang sudah tercampur,” katanya.
Menurut Enny, perang dagang AS-China tak akan berdampak negatif dalam jangka pendek. Sebab, Indonesia bukan pemasok barang utama yang dikenai tarif oleh AS.
Hal terpenting saat ini, tambah Enny, pemerintah harus menghemat cadangan devisa dengan mengerem impor barang modal untuk infrastruktur. Substitusi dan seleksi impor di sektor tekstil serta makanan dan minuman juga harus konsisten sehingga neraca perdagangan bisa kembali surplus. Pembenahan impor harus menyeluruh, tidak bisa parsial, apalagi ego sektoral.
Neraca perdagangan surplus, tambah Enny, diyakini bisa menumbuhkan optimisme pasar.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, penghapusan Generalized System of Preferences (GSP) menyebabkan harga barang ekspor Indonesia tinggi sehingga dikhawatirkan akan menurunkan daya saing produk. Sejauh ini, pemerintah belum mengetahui jumlah pasti produk yang terancam dicabut potongan tarif bea masuknya ke AS. Pemerintah sedang menyusun strategi antisipasi dan tetap melakukan lobi politik.
GSP merupakan kebijakan perdagangan berupa potongan bea masuk produk ekspor dari negara berkembang. AS memberikan potongan tarif bea masuk sekitar 3.500 produk Indonesia antara lain agrikultur, tekstil, garmen, dan perkayuan. Manfaat GSP dari AS berlaku hingga 31 Desember 2020. Selain dari AS, Indonesia juga mendapat GSP dari Uni Eropa dan Australia.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta Widjaja Kamdani menambahkan, AS tengah meninjau kembali perpanjangan GSP untuk sejumlah produk Indonesia. Mengutip laporan GSP AS tahun 2016, Indonesia memperoleh manfaat dari kebijakan GSP sekitar 1,8 miliar dolar AS dari total ekspor 20 miliar dolar AS.
Kolaborasi
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) berkomitmen berkolaborasi untuk menumbuhkan ekonomi dan meningkatkan devisa negara. Caranya, dengan menggarap potensi ekspor dan pariwisata yang terintegrasi.
Pertumbuhan kedua sektor itu akan ditopang dengan investasi. Salah satu upaya mewujudkannya melalui pameran dan pertemuan bisnis tahunan, Apkasi Otonomi Expo. Tahun ini, Apkasi Otonomi Expo diselenggarakan di ICE BSD, Tangerang, Banten, pada 6-8 Juli.
Koordinator Wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur Apkasi, Najmul Akhyar, kepada Kompas, Minggu (8/7/2018), mengatakan, banyak permintaan dari sejumlah negara yang tidak dapat dipenuhi satu pemerintah daerah saja. Agar peluang emas peningkatan ekspor tidak hilang, sejumlah pemerintah daerah yang memiliki komoditas sama perlu berkolaborasi memenuhi permintaan itu.
Di sektor pariwisata, lanjut Najmul, kolaborasi antar pemerintah daerah juga diperlukan untuk membuat paket wisata bersama.