Pengembangan Teknologi Baterai Jadi Tantangan
JAKARTA, KOMPAS – Demi mencapai target memproduksi 20 persen mobil listrik pada 2025, Kementerian Perindustrian pekan ini menggandeng enam perguruan tinggi untuk meneliti pentahapan teknologi mobil listrik.
Salah satu tantangan terberat dalam pengembangan mobil listrik adalah pada teknologi baterai.
Sebagai salah satu sektor andalan di dalam peta jalan Making Indonesia 4.0, industri otomotif nasional diharapkan menjadi basis produksi kendaraan bermotor. Baik itu untuk mobil konvensional maupun mobil listrik. Making Indonesia 4.0 adalah peta jalan Indonesia untuk menghadapi revolusi industri keempat.
Pengembangan mobil listrik salah satunya bertujuan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030. Selain itu juga untuk menjaga energi sekuriti khususnya di sektor transportasi darat. Tantangan terbesar dari pengembangan mobil listrik datang dari teknologi baterai yang akan digunakan.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam kegiatan Kickoff Electrified Vehicle Comprehensive Study di Jakarta, mengatakan, daya saing dari mobil listrik sangat tergantung pada baterai. Untuk itu, penting bagi produsen mobil listrik untuk mengembangkan teknologi baterai yang kompetitif.
Riset pada teknologi baterai menjadi salah satu prioritas Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Oleh karenanya, pemerintah menyiapkan kebijakan tax holiday kepada investor yang tertarik berinvestasi di teknologi baterai.
“Teknologi baterai ini bukan hanya domain untuk electric vehicle tapi juga untuk energi terbarukan,” ucap Airlangga.
Terkait teknologi baterai, Airlangga meminta para rektor perguruan tinggi yang terlibat dalam riset ini untuk mengembangkan baterai yang terbuat dari nikel kobalt.
Airlangga merujuk pada negara-negara lain, seperti China yang mengembangkan baterai litium ion, Jepang yang menerapkan teknologi fuel cell pada baterai. Indonesia, katanya, berpeluang mengembangkan baterai dari nikel kobalt karena merupakan negara penghasil nikel kobalt.
Lebih lanjut, Airlangga menyampaikan, infrastruktur yang paling penting adalah stasiun pengisian daya. Selain itu, tegangan listrik juga perlu diperhatikan.
Persoalannya, kata Airlangga, tegangan listrik di Indonesia berbeda-beda. Untuk itu, solusi paling rasional adalah membuat mobil listrik plug-in hybrid yang bisa mengisi sendiri daya listrik ketika mobil bergerak.
Ditemui terpisah, Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohannes Nangoi menyampaikan, intisari dari mobil listrik terletak pada baterai yang digunakan.
Apabila tidak menguasai teknologi baterai, maka besar kemungkinan Indonesia menjadi net importir baterai ke depannya. Yohannes menyarankan pemerintah agar fokus mengembangkan baterai mobil listrik.
“Kalau kita bisa menguasai teknologi baterai, maka kita bisa masuk ke industri mobil listrik dengan sangat baik,” kata Yohannes.
Namun, tidak mudah untuk mengembangkan baterai mobil listrik. Yohannes menyebut, riset pengembangan baterai mobil listrik relatif menguras biaya.
Untuk itulah, pemain indsutri otomotif besar dunia sampai harus berkolaborasi mengembangkan teknologi baterai mobil listrik. Yohannes mengemukakan, perusahaan otomotif multinasional General Motors telah mengucurkan tak kurang dari Rp 70 triliun hanya untuk riset baterai. Itupun hasilnya masih belum optimal.
“Biaya untuk riset baterai itu sangat besar,” ujarnya.
Enam PTN
Dalam rangka mencapai target memproduksi 20 persen mobil listrik pada 2025, Kementerian Perindustrian melibatkan enam perguruan tinggi dalam penelitian teknologi mobil listrik. Airlangga menargetkan pada 2025 ada 400.000 mobil listrik yang beredar di pasar otomotif dalam negeri.
Adapun enam perguruan tinggi yang dilibatkan adalah Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah mada (UGM), Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), dan Universitas Udayana (Unud).
Pembagian tugas penelitian kepada keenam perguruan tinggi itu dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama penelitian akan dilakukan UI, UGM, dan ITB, sedangkan untuk tahap dua dilakukan UNS, ITS, dan Unud.
Kepada masing-masing perguruan tinggi, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia memberikan mobil hybrid (Toyota Prius), mobil Plug-in Hybrid (Toyota Prius Prime), dan mobil konvensional (Toyota Corolla Altis) untuk digunaka sebagai pembanding dalam riset.
Mobil hybrid untuk tenaga listriknya membutuhkan infrastruktur pengisi daya. Sementara, mobil plug-in hybrid tidak membutuhkan infrasatruktur pengisi daya karena listrik dihasilkan dari pergerakan mobil.
Setiap unit kendaraan tersebut akan dilengkapi dengan data Logger untuk pengambilan data konsumsi bahan bakar, kondisi pengisian daya, kebutuhan data infra charging, pengalaman pengguna, dan kenyamanan.
Penelitian dilakukan pada area komponen perangkat lunak maupun perangkat keras, termasuk di antaranya adalah baterai, motor listrik, power control unit, hingga sistem charging station.
“Melalui riset dan studi bersama ini, kami mencari solusi yang meliputi kenyamanan berkendara oleh para pengguna, infrastruktur pengisian energi listrik, rantai pasok dalam negeri, serta adopsi teknologi dan regulasi,” kata Airlangga
Peneliti Teknik Tenaga Listrik ITB, Agus Purwadi, menyampaikan, tahapan riset mobil tenaga listrik dilakukan dalam dua tahap. Pertama adalah tahapan penyusunan yang terdiri dari riset empat aspek utama, yaitu teknikal karakteristik studi; user convenience study; overall environment, industry, social impact study; dan policy, regulation study.
Selanjutnya, pada tahapan riset bersama, ada persiapan kendaraan dan infrastruktur terkait, aktivitas riset, dan data analysis. Riset direncanakan akan berlangsung hingga 2019.