Inflasi Pangan Belum Cerminkan Kesejahteraan Petani
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kendati lebih rendah dari dua tahun sebelumnya, inflasi pada Juni 2018 belum menunjukkan upaya optimal pemerintah mengendalikan harga. Kenaikan harga pangan juga belum mencerminkan kesejahteraan petani, karena nilai tukar petani hanya naik tipis.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi pada Juni 2018 sebesar 0,59 persen. Faktor penyumbang inflasi tersebut berasal dari kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan, serta bahan makanan.
Inflasi pada periode Lebaran tahun ini lebih rendah daripada periode Lebaran pada 2017 dan 2016. Inflasi pada bulan Lebaran 2017 (Juni) dan Lebaran 2016 (Juli) masing-masing sama sebesar 0,69 persen.
BPS juga menyebutkan, Nilai Tukar Petani (NTP) pada Juni 2018 sebesar 102,04, sedangkan NTP pada Mei 2018 sebesar 101,99. NTP tersebut naik 0,05 persen.
Wakil Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Eko Listiyanto kepada Kompas, Senin (2/7/2018), mengatakan, jika dibandingkan dengan periode Lebaran dua tahun sebelumnya, inflasi tersebut memang sedikit lebih rendah. Namun, apabila dibandingkan inflasi pada Mei 2018 yang sebesar 0,21 persen, lonjakannya cukup tinggi.
“Lonjakan inflasi itu hampir tiga kali lipat. Hal itu menunjukkan pemerintah masih kurang optimal mengendalikan harga, terutama harga pangan dan tiket angkutan udaran,” kata dia.
Menurut Eko, kenaikan inflasi itu juga belum mencerminkan kesejahteraan petani. Ketika inflasi dari kelompok bahan makanan pada Juni 2018 sebesar 0,88 persen, NTP pada Juni 2018 hanya tumbuh 0,05 persen dari bulan sebelumnya.
Hal itu menunjukkan, petani belum mendapatkan insentif atau keuntungan dari kenaikan harga pangan. Insentif itu justru didapat petani negara lain, karena salah satu upaya pengendalian harga pangan dilakukan dengan cara mengimpor pangan.
“Ke depan, pemerintah perlu memerhatikan kenaikan harga minyak mentah dunia. Kenaikan harga tersebut telah berdampak pada kenaikan harga pertamax. Hal ini akan menyebabkan pengguna pertamax bisa beralih ke premium dan pertalite, sehingga kebutuhan kedua BBM itu akan semkin besar,” kata dia.
Eko memproyeksikan, inflasi pada akhir tahun ini sebesar 3,5 persen. Hal itu bisa terealisasi jika pemerintah tidak menaikkan harga barang yang diatur pemerintah dan nilai tukar rupiah berada di kisaran Rp 14.000 per dollar AS.
Kepala BPS Suhariyanto menilai inflasi pada Juni 2018 sangat terkendali. Hal itu terjadi karena pemerintah mampu mengendalikan harga-harga barang yang mudah bergejolak dan harga-harga yang diatur pemerintah.
Menurut Suhariyanto, inflasi terbesar pada Juni 2018 dari kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan, serta bahan makanan. Inflasi kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 1,5 persen dan memberikan andil terhadap inflasi secara keseluruhan sebesar 0,26 persen.
Inflasi di kelompok tersebut terjadi terutama karena kenaikan harga tiket pesawat dan angkutan antar kota. Adapun inflasi kelompok bahan makanan sebesar 0,88 persen dan andilnya terhadap inflasi secara keseluruhan sebesar 0,19 persen.
"Inflasi kelompok bahan makanan terjadi karena ada kenaikan harga ikan segar dan daging ayam ras. Kenaikan harga ikan segar terjadi terutama di wilayah timur Indonesia. Cuaca buruk di kawasan itu menyebabkan pasokan ikan segar terbatas. Adapun kenaikan harga daging ayam ras terjadi karena permintaan selama Lebaran tinggi," kata dia.
Pada tahun ini, lanjut Suhariyanto, beras, bawang putih, telur ayam ras, dan cabai merah, menyumbang deflasi. Hal itu menunjukkan kalau inflasi bahan makanan sangat terjaga.
"Ke depan, inflasi diperkirakan akan terjaga dengan baik karena sudah melewati puncak inflasi yang biasanya terjadi pada periode Lebaran," ujarnya.
Secara umum, BPS mencatat inflasi secara tahun kalender, Januari-Juni 2018 sebesar 1,9 persen. Adapun inflasi tahun ke tahun, Juni 2018 terhadap Juni 2017, sebesar 3,12 persen. Pemerintah dan Bank Indonesia pada tahun ini menargetkan inflasi berada pada kisaran 2,5 persen-4,5 persen.