Pertengahan bulan Juni 2018. Kampung megatikum Bena di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur begitu panas. Namun, di siang hari bolong itu, beberapa anak tetap asyik bermain di lapangan yang dikelilingi rumah-rumah tradisional.
Di muka setiap rumah, berbagai kegiatan dilakukan. Kegiatan warga memang mudah terlihat oleh karena setiap rumah panggung itu memiliki teras yang fungsinya beragam. Ada anak kecil yang tidur-tiduran, ada mama sedang menenun hingga oma-oma yang sedang memintal benang yang akan digunakan untuk menenun.
Di halaman, di depan rumah warga terhampar biji-biji kemiri yang sedang dikeringkan. Setelah kering, biji kemiri itu akan dipukul satu persatu sehingga terlepas dari kulit luarnya. Selain mengandalkan hasil kebun seperti kemiri dan kopi, warga Bena juga menjual kain dan selendang tenun untuk menambah penghasilan.
“Rumah saya ada di atas,” kata Theresia Julianti Ule, atau Julia, anak setempat berusia 9 tahun. Teman-temannya memanggil dia Jule. Dia menyambut kami di pintu masuk Kampung Bena. Pintu masuk itu ada di sisi utara kampung sedangkan ujung selatan kampung adalah jurang yang dalam.
Ketika kami datang, Julia sedang menyelesaikan satu tenunan selendang berwarna coklat. Rina, ibu Julia mengatakan, sudah sepekan ini, selama libur sekolah Julia menenun selendang coklat itu. Julia pun sudah dapat menenun sejak berusia 3 tahun.
Bersama ayah, ibu, adik, nenek dan nenek buyutnya, Julia tinggal di rumah tradisional Kampung Bena. Di kampung ini, ada 45 rumah yang dibangun berhadapan dari utara ke selatan mengelilingi sebuah lapangan. Satu sisi lebih tinggi dibandingkan dengan sisi lainnya.
Di tengah lapangan, ada beberapa nga’du dan bhaga. Nga’du adalah simbol leluhur laki-laki berbentuk payung jerami dengan tiang dan batu di bawahnya. Sementara bhaga adalah, bangunan berbentuk rumah kecil yang menyimbolkan leluhur perempuan.
Ada pula beberapa tumpukan batu besar yang merupakan makam leluhur di tengah-tengah lapangan.
Menurut warga setempat, salah satu upacara tradisional yang menarik adalah Reba. Namun, upacara ini hanya diselenggarakan setiap 27 Desember. Upacara ini juga dijadikan sarana untuk reuni keluarga, untuk membicarakan masalah keluarga juga ungkapan syukur atas panen yang baik.
Sambil kami berbincang-bincang di teras rumahnya, Julia anak kelas 4 SD itu, melanjutkan menenun selendang dengan tekun. Ketika sudah jadi, satu selendang besar dihargai Rp 200.000-Rp 250.000, selendang kecil Rp 70.000 per helai, dan gelang-gelang dari benang Rp 20.000 per buah.
Pewarna bagi kain tenunan itu merupakan pewarna alam. Diambil dari akar pohon mengkudu untuk warna coklat dan daun nila untuk warna biru. Diperlukan waktu sekitar tiga bulan untuk proses mewarnai benang dengan pewarna alam.
Motif tenun di Kampung Bena pun sederhana. Diantaranya, seperti kuda (jara), cakar ayam (wa’l maunu), garis (ghi’u) juga rumah adat. Masing-masing motif memiliki makna. Kuda merupakan harta penting karena merupakan alat transportasi di masa lalu, dan juga sebagai mas kawin.
Sementara cakar ayam melambangkan keadaan seseorang yang sedang berada pada tahap awal kehidupannya. Adapun ghiu adalah garis panjang melengkung, sebagai simbol manusia yang akan mengalami pasang surutnya gelombang hidup.
Sejauh ini, warga Kampung Bena hanya mengandalkan penjualan selendang tenun kepada para tamu yang berkunjung. Mereka belum mencoba menjual selendang itu secara daring agar dapat menjangkau konsumen yang lebih luas lagi walaupun sinyal telepon selular sudah sampai ke kampung itu.
Apa tantangan bagi mereka? Seperti perajin kecil lain, mereka mengalami kesulitan modal. Perputaran dana juga tidak dapat terlalu cepat karena proses pembuatan yang lama dan penjualan yang tidak terlalu cepat.
Selain itu, kegiatan-kegiatan di sekitar tempat tinggal mereka juga membuat mereka tidak dapat memeroduksi kain dan selendang dalam jumlah banyak. Namun, apapun hambatan dalam hidup mereka, Julia dan warga Kampung Bena tetap menjaga tradisi leluhur termasuk tenunnya.