Memburu Saintis Data
Sejak beberapa tahun lalu saintis data (data scientist) tiba-tiba diburu perusahaan. Profesi baru ini muncul ketika penggunaan teknologi digital berkembang pesat.
Banyak data yang didapat, namun sedikit orang yang mampu mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data sehingga menjadi informasi yang berguna. Kini, perusahaan benar-benar bergantung pada saintis data untuk mengambil keputusan.
Awalnya, kalangan usaha rintisan juga tidak menyadari kekayaan data itu. Pada saat jumlah pengunjung, pengguna, pemilik akun, serta pelanggan meningkat, baru lah mereka mengetahui data melimpah yang kemudian disebut sebagai data raksasa (big data). Akan tetapi, mereka bingung untuk mengelolanya. Mereka melihat data yang ada belum tersusun rapi dan masih kacau balau.
Baru belakangan mereka mulai mendekati data-data itu, kemudian menemukan pola data. Bahkan, mulai digunakan untuk memprediksi sesuatu. Pada akhirnya, mereka melihat berapa berharganya data itu. Mereka yang mulai melihat data ini akhirnya bertemu dengan orang-orang yang jago analisis, sehingga muncul kebutuhan saintis data di dalam perusahaan. Kebutuhan perusahaan mengenai informasi yang akurat menjadikan mereka kini diburu perusahaan-perusahaan di berbagai belahan dunia.
Permintaan tinggi
Pasar saintis data menjadi ramai. Permintaan tinggi, namun keberadaan mereka sangat kurang.
Saintis data ini sebenarnya tidak harus berpendidikan teknologi informasi. Akan tetapi, mereka harus memiliki sifat ingin tahu, mampu melihat data serta mengetahui kegunaan data yang didapat, dan memahami teknologi informasi.
Namun, jumlah saintis data ini tetap saja kurang. Akibatnya, perusahaan berebut untuk mendapatkan mereka. Tidak mengherankan, perusahaan di dalam negeri juga mencari mereka hingga ke berbagai perguruan tinggi luar negeri.
Sebuah survei yang dilakukan MIT Sloan Management Review and SAS dengan 2.719 responden dari kalangan eksekutif perusahaan menyebutkan, sebagian besar latar belakang saintis data berpendidikan master dan doktoral. Semula pencarian mereka didominasi usaha rintisan. Namun, kini perusahaan mapan menggantikan usaha rintisan.
Sekitar 43 persen perusahaan yang disurvei ternyata tidak memiliki kemampuan analisis yang memadai dalam menghadapi masalah aktual. Lebih parah lagi, hanya satu dari lima perusahaan yang mengubah pendekatan untuk meningkatkan kemampuan analisis mereka dengan mencari tenaga-tenaga analis dan saintis data.
Cara yang dilakukan sebagian besar perusahaan untuk meningkatkan kemampuan memahami data dan analisis adalah mengikutsertakan karyawan ke dalam beberapa pelatihan secara internal dan eksternal. Sementara, perusahaan yang telah memiliki saintis data terus berjuang agar mereka tetap nyaman di tempatnya. Kebutuhan saintis data diperkirakan meningkat 20 persen hingga 2020.
Di beberapa negara, perguruan tinggi membuka dan mengembangkan program pendidikan sains data untuk memasok kebutuhan pasar saintis data. Meski demikian, jumlahnya juga belum bisa memasok kebutuhan pasar. Tahun ini saja kebutuhan global sekitar 181.000 orang. Namun, perguruan tinggi tak mampu memenuhi kebutuhan itu.
Sejumlah kalangan memberi saran kepada korporasi, misalnya, perusahaan harus melakukan jemput bola ke kampus-kampus untuk mendapatkan tenaga saintis data. Cara lain, perusahan membuat pelatihan dan pemagangan yang bisa digunakan untuk menarik tenaga-tenaga muda yang bisa menjadi bakal saintis muda sekaligus mengenalkan mereka pada dunia bisnis dan kultur perusahaan. Perusahaan juga perlu membuat sistem insentif agar menarik bakal saintis data ke perusahaan.
Beberapa perusahaan teknologi menggunakan konsep “beternak” di dalam perusahaan. Mereka membuat beberapa pelatihan sains data secara internal bagi karyawan mereka sehingga bisa berhadapan langsung dengan masalah data dan bisnis di dalam dan bekerja sama dengan perguruan tinggi. Segala upaya dilakukan agar perusahaan ini bisa menjawab berbagai tantangan bisnis. (ANDREAS MARYOTO)