Alokasi Premium Ditambah
JAKARTA, KOMPAS — Alokasi bahan bakar minyak jenis premium yang harus disediakan PT Pertamina (Persero) tahun ini diperbanyak menjadi 11,8 juta kiloliter. Dari alokasi tahun ini yang semula sebanyak 7,5 juta kiloliter, ada penambahan 4,3 juta kiloliter.
Keputusan tersebut merupakan dampak dari revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Padahal, sebelumnya, premium adalah bahan bakar minyak (BBM) yang pernah diusulkan pemerintah untuk dihapus peredarannya di Indonesia.
Berdasar Perpres No 191/2014, Pertamina wajib memasok dan menjual premium di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Jawa dan Bali. Pada awal tahun ini, pemerintah mendapat laporan terkait kekurangan pasokan premium di sejumlah daerah. Berdasarkan laporan tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan revisi Perpres No 191/2014 dengan mewajibkan Pertamina memasok dan menjual premium di wilayah Jawa dan Bali.
Dalam siaran pers dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Perpres No 191/2014 direvisi dengan Perpres No 43/2018. Seiring revisi itu, Menteri ESDM Ignasius Jonan menerbitkan Keputusan Menteri ESDM No 1851 K/15/MEM/2018. Inti dari keputusan itu, menugaskan Pertamina menyediakan dan mendistribusikan BBM jenis premium di seluruh provinsi di Jawa dan Bali.
Alokasi premium yang sebelumnya ditetapkan sebanyak 7,5 juta kiloliter ditambah menjadi 11,8 juta kiloliter.
”Alokasi itu (11,8 juta kiloliter) untuk jangka waktu setahun terhitung sejak 1 Januari 2018. Wilayahnya di seluruh Indonesia,” kata Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa saat dihubungi, Minggu (3/6/2018), di Jakarta.
Fanshurullah menambahkan, dari catatan BPH Migas, akan ada 2.090 penyalur di wilayah Jawa dan Bali yang menjual premium. Jumlah penyalur tersebut terdiri dari 1.519 penyalur yang sudah beroperasi sebelumnya ditambah dengan 571 penyalur baru yang akan menjual premium.
BPH Migas juga meminta Pertamina untuk memastikan ketersediaan premium di sejumlah lokasi, seperti jalan tol, jalur angkutan umum, dan pusat keramaian yang membutuhkan premium.
Penambahan alokasi premium tersebut kian membebani keuangan Pertamina. Seperti yang pernah disampaikan Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman, harga jual ideal premium Rp 7.150 per liter, sedangkan harga jual saat ini Rp 6.450 per liter. Selisih harga itu menjadi tanggungan Pertamina.
Tidak cocok
Ketua Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safruddin mengatakan, BBM jenis premium sesungguhnya tidak cocok digunakan untuk mesin kendaraan keluaran terbaru. Menurut dia, kadar belerang dalam premium terbilang tinggi, yaitu 200 part per million (ppm). Padahal, mesin kendaraan terbaru mensyaratkan ambang batas kadar belerang maksimum 50 ppm.
”Selain itu, kebijakan penghapusan premium oleh pemerintah menjadi semakin tidak jelas. Syarat kebijakan penerapan standar emisi euro 4 yang diadopsi pemerintah sejak 2017 adalah bahan bakar dengan kadar belerang paling tinggi 50 ppm atau gasolin RON 92 (Pertamax),” kata Ahmad.
Sebelumnya, dalam konferensi pers, Direktur Logistik, Supply Chain, dan Infrastruktur Pertamina, Gandhi Sriwidodo mengatakan, Pertamina berkomitmen menyediakan premium sesuai penugasan pemerintah. Adapun persiapan penyaluran premium kepada masyarakat akan dilakukan secara bertahap. Menurut dia, butuh waktu bagi SPBU yang sebelumnya tidak menjual premium, kemudian harus menjual premium.
”Secara teknis, misalnya di SPBU hanya ada tiga tangki untuk pertamax, pertalite, dan solar, sementara tangki premium tidak ada. Nah, untuk mengubah menjadi tangki premium harus diproses. Tangki harus dikuras terlebih dahulu dan pengaturannya harus disesuaikan. Yang utama, setiap butuh premium, kami siapkan,” ujar Gandhi.
Dalam beberapa waktu terakhir, pangsa pasar premium tergeser pertalite, bahan bakar dengan RON 90. Sepanjang triwulan I-2018, pangsa pasar pertalite untuk gasolin 57 persen. Pada periode yang sama, pangsa pasar premium 27 persen. Adapun sisanya berupa pertamax dengan RON 92 dan BBM dengan RON di atas 92.
Pada awal pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yakni pada Januari 2015, Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi yang dibentuk Menteri ESDM kala itu, Sudirman Said, merekomendasikan penghapusan peredaran premium di Indonesia. Rekomendasi tersebut sudah disetujui Pertamina. Saat itu, Pertamina diberi waktu dua tahun untuk menyiapkan peralihan penggunaan premium ke pertamax. (APO)