Suku bunga acuan di jalur mendaki. Ini merupakan tuntutan ekonomi jangka pendek ketika suku bunga Bank Sentral AS, The Fed telah dan terus memicu depresiasi mata uang negara mana pun, termasuk rupiah.
Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) sebenarnya sudah menggelar rapat pada 16-17 Mei. Hasilnya adalah suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebagai suku bunga acuan naik 25 basis poin dari 4,25 persen ke 4,50 persen. Ini adalah titik balik suku bunga acuan setelah periode turun gunung selama hampir 2,5 tahun sejak Januari 2016.
Setelah penyesuaian tersebut, rupiah masih terdepresiasi. Sementara, uang masih menguap dari portofolio dalam negeri. Artinya, suku bunga acuan 4,50 persen belum cukup ampuh mengendalikan gejolak. Pada saat yang sama, kenaikan suku bunga di AS adalah keniscayaan. Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) akan menggelar rapat pada 14 Juni dengan kemungkinan keputusan menaikkan suku bunga acuan di AS, 2-3 kali lagi di tahun ini.
Dalam situasi itu, Dewan Gubernur BI menggelar rapat tambahan pada Rabu kemarin. Hasilnya, suku bunga acuan diputuskan naik 25 basis poin lagi ke 4,75 persen. Suku bunga acuan 4,50 persen pun cukup berumur dua pekan saja. Apakah akan berhenti sampai di sini pada tahun ini? Tentu BI akan selalu melihat situasi. Namun, bahwa BI akan menaikkan lagi pada semester II-2018 adalah kemungkinan yang rasional.
Intinya, situasi perekonomian menuntut kebijakan moneter tahun ini untuk fokus pada stabilisasi sektor keuangan. Hal ini mau tidak mau akan menekan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Sebab alih-alih akan turun, bunga berbagai kredit justru akan tergoda naik atau minimal stagnan meskipun BI dan pemerintah mengatakan mekanismenya tidak selalu linear dan memerlukan waktu transmisi.
Pemerintah dan DPR menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini 5,4 persen. Dengan situasi perekonomian terkini, BI memperkirakan realisasinya sekitar 5,2 persen. Sementara, Kementerian Keuangan memperkirakan 5,17 persen sampai dengan 5,4 persen. Dalam fokus stabilisasi sektor keuangan, kebijakan makro untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi menjadi terbatas. Lalu, siapa yang harus tampil lebih di depan?
Salah satunya adalah kebijakan sektoral yang bersifat reformasi struktural. Kebijakan sektoral pada batas tertentu bisa mengambil jarak dari kenaikan suku bunga acuan. Kebijakan sektoral berada di tangan tiap-tiap kementerian dan lembaga negara. Namun, hampir selalu kebijakan sektoral butuh koordinasi yang solid lintas instansi agar kerangka kebijakan maupun implementasinya harmonis sekaligus efektif.
Bicara sektor, semuanya penting. Namun, kalau harus diambil tiga besar penyumbang produk domestik bruto (PDB), sektor itu adalah industri manufaktur, pertanian, dan perdagangan. Ketiga sektor ini sekaligus menjadi penyerap tenaga kerja terbanyak. Namun masing-masing memiliki persoalan struktural yang menyebabkan sumbangsihnya terhadap pertumbuhan ekonomi belum optimal. Kebijakan sektoral, kalau pun tidak sampai mengungkit pertumbuhan ekonomi, setidaknya bisa membantu memberi kelegaan atau ketenangan bagi para pemangku kepentingan di dalamnya.
Sektor pertanian, porsinya terhadap PDB terus melorot. Ini sebenarnya tren normal bagi negara yang naik kelas dari agraris ke industri. Namun masalahnya, pertanian masih menjadi penyerap tenaga kerja terbanyak, yakni 29,69 persen dari total pekerja. Artinya kue ekonomi yang mengecil masih menjadi gantungan hidup sekitar 30 juta petani berikut keluarganya.
Sementara, industri manufaktur yang mestinya menjadi rumah baru bagi sebagian pekerja yang hijrah dari sektor pertanian, pertumbuhannya konsisten di bawah pertumbuhan ekonomi nasional sejak 2005. Bahkan, porsinya terhadap PDB juga tak jemu-jemu menyusut. Demikian pula dengan perdagangan yang menyerap 23,38 persen dari total pekerja. Tahun 2000, porsinya terhadap PDB adalah 15,18 persen. Tahun 2017, porsinya turun menjadi 13 persen.
Pada tingkat yang minimal, jika tidak bisa membuat ketenangan, setidaknya jangan membuat kegaduhan. Jika tidak bisa mempermudah, setidaknya jangan mempersulit. Tentu perekonomian tidak butuh sikap minimalis sektoral, tetapi kebijakan progresif. Apalagi ketika suku bunga di jalur mendaki. (FX LAKSANA AS)