Industri Tunggu Janji Penurunan Harga
JAKARTA, KOMPAS--Sektor industri pengguna gas masih menunggu janji pemerintah untuk menurunkan harga . Janji tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Panjangnya mata rantai niaga gas bumi disebut-sebut membuat harga gas masih terlampau mahal bagi industri.
Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia pada Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Achmad Widjaja mengatakan, hingga kini, harga gas untuk industri di Surabaya, Jawa Timur, berkisar 8,9 dollar AS per juta british thermal unit (MMBTU). Menurut dia, harga gas yang tinggi itu disebabkan gas bumi tidak langsung dijual dari produsen ke industri sebagai pengguna akhir. Gas masih diperjualbelikan lewat perantara atau pedagang gas (trader).
"Padahal, salah satu cara efektif untuk menekan harga gas untuk industri adalah dengan tidak memberi kan alokasi gas pada trader untuk diperjualbelikan, tetapi langsung dijual ke industri alias pengguna akhir. Saya kira itu bisa menurunkan harga gas sampai 1 dollar AS per MMBTU. Itu cukup signifikan dan ibarat menjadi insentif bagi industri," kata Achmad, Minggu (27/5/2018), di Jakarta.
Perpres itu menyebutkan, jika harga gas bumi tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas bumi dan harga gas bumi lebih tinggi dari 6 dollar AS per MMBTU, menteri dapat menetapkan harga gas bumi tertentu. Penetapan harga gas bumi tertentu dikhususkan untuk pengguna gas bumi bidang industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Agar pemanfaatan gas di dalam negeri optimal, ujar Achmad, pemerintah harus tegas mengurangi penggunaan solar sebagai bahan bakar industri dan mendorong peralihan ke gas. Pembangunan infrastruktur gas harus diperkuat. Dengan demikian, tak ada lagi produksi gas yang tidak terserap di dalam negeri.
"Tidak akan ada lagi cerita gas dari Indonesia dijual ke pasar tunai karena tidak terserap di dalam negeri. Ini kan ironis," tambah Achmad.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengemukakan, kebijakan penurunan harga gas bumi melibatkan multisektor, mulai dari hulu hingga hilir. Usulan-usulan pengurangan bagian negara dan produsen (kontraktor kontrak kerja sama/KKKS) membutuhkan negosiasi panjang. Ada sejumlah konsekuensi akibat usulan-usulan tersebut.
"Jika KKKS diminta menurunkan bagian tertentu dari keekonomian proyek, hal itu sama saja meminta mereka menghitung ulang investasi proyek dan itu menimbulkan diskusi yang panjang dan berlarut-larut," ujar Komaidi.
Di hilir, lanjut Komaidi, penghitungan harga jual gas bumi memasukkan nilai pengembalian investasi pembangunan infrastruktur berupa jaringan gas. Perjanjian jual beli gas dalam jangka pendek belum cukup mampu menurunkan harga gas dalam jumlah signifikan. Biaya transportasi dan distribusi gas tetap akan tinggi.
"Di sisi lain, integrasi PGN dan Pertagas semoga dapat menciptakan efisiensi yang berujung pada penurunan harga gas bumi," kata Komaidi.
Pekan lalu, Kementerian BUMN mengumumkan rencana penggabungan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dan PT Pertamina Gas, anak usaha PT Pertamina (Persero). Menurut Deputi Bidang Pertambangan dan Industri Strategis Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno, perkembangan terkini dari upaya penggabungan tersebut adalah tengah masuk tahap final mekanisme integrasi."Melalui penggabungan ini diharapkan dapat tercipta efisiensi dalam rantai bisnis gas bumi yang pada akhirnya memberikan harga gas yang lebih terjangkau bagi konsumen," ujar Fajar.
Kementerian ESDM pernah membuat simulasi penurunan harga gas bumi dengan cara mengurangi bagian penerimaan negara. Apabila komponen penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dihapus, negara berpotensi kehilangan pendapatan Rp 7 triliun per tahun. Potensi kehilangan pendapatan negara kian membesar apabila PNBP dan Pajak Penghasilan (PPh) sama-sama dihapuskan, yang besarnya mencapai Rp 16,5 triliun per tahun.
Sejumlah kalangan mengatakan, realisasi penurunan harga gas bumi di dalam negeri tidak mudah diterapkan. Hal itu disebabkan kondisi lapangan sumber gas berbeda-beda dan berpengaruh langsungterhadap ongkos produksi gas bumi di lapangan tersebut.