Operator Genjot Pembangunan Infrastruktur Pemancar
JAKARTA, KOMPAS - Perluasan jangkauan layanan 4G Long Term Evolution masih menjadi fokus utama operator sehingga pembangunan infrastruktur terus dilakukan tahun 2018. Upaya ini bertujuan memenuhi permintaan konsumsi data berkecepatan cepat. Sementara pengembangan produk digital turunannya menunggu kesiapan pasar dan model bisnis yang tepat.
Direktur Utama PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) Ririek Adriansyah, Minggu (27/5/2018), di Jakarta, menilai, pasar produk digital yang menggunakan jaringan telekomunikasi seluler baru mulai terbentuk. Ekosistemnya belum sepenuhnya siap, seperti regulasi.
Beberapa operator telekomunikasi, termasuk perusahannya, sudah mempunyai aneka jenis produk digital yang menggunakan jaringan telekomunikasi seluler, seperti benda terhubung dengan internet (internet of thing/IoT). Untuk mengembangkan inovasi ataupun memasarkan, operator dituntut menyesuaikan model bisnis berbeda dibanding layanan seluler pada umumnya.
Faktor lain terletak pada perilaku konsumen. Pada triwulan pertama tahun 2018, penggunaan layanan data di jaringan Telkomsel melonjak 145,8 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya. Pengguna layanan data Telkomsel rata-rata mengonsumsi kuota data sebesar dua hingga empat gigabyte (GB) setiap bulannya. Kontribusi tertinggi penggunaan layanan data secara umum berasal dari aktivitas di media sosial yang mencapai 35 persen dan menyaksikan film atau video secara streaming dengan porsi sebesar 31 persen.
"Belanja modal jaringan tahun 2018, khususnya perangkat pemancar, memang difokuskan ke teknologi 4G LTE. Tujuannya agar menambah infrastruktur. Ini harus dilihat sebagai upaya kami memperluas keterjangkauan akses dan penambahan kapasitas," ujar Ririek.
Selama kurun waktu triwulan pertama tahun 2018, Telkomsel membangun lebih dari 6.900 pemancar baru yang seluruhnya berteknologi 4G LTE. Sebanyak 55 juta dari 108 juta orang total pelanggan adalah peng guna 4G LTE.
"Jika sangat terpaksa, maka kami akan lakukan penambahan pemancar 2G atau 3G dan itupun menggunakan pemancar yang nantinya mudah dikonversikan ke 4G. Namun, sejauh ini kami masih bisa jalan tanpa menambah pemancar 2G atau 3G," imbuh Ririek.
Group Head Commercial LTE PT XL Axiata Tbk, Rahmadi Mulyohartono, menyebutkan sudah sebanyak 376 kabupaten/kota yang terjangkau layanan jaringan 4G LTE. Ini adalah salah satu wujud komitmen perusahaan mendukung penyediaan internet cepat bagi masyarakat, termasuk mereka yang tinggal di daerah yang relatif sulit dijangkau jalur transportasi darat, laut, ataupun udara.
Dia menceritakan, daerah yang baru saja menerima layanan jaringan 4G LTE XL, misalnya, kabupaten dan kota Bima, Dompu (NTB), serta Sekadau dan Bengkayang (Kalimantan Barat). Ada pula, kabupaten Konawe Utara dan Bombana (Sulawesi Tenggara), Pohuwatu (Gorontalo), Bener Meriah (Aceh).
"Fokus kami saat ini adalah penambahan infrastruktur jaringan berteknologi 4G LTE untuk kabupaten/kota di luar Jawa. Alasannya, semua kabupaten/kota di Jawa sudah terjangkau 4G LTE," tutur dia.
Jumlah pemancar 4G LTE keseluruhan sudah melebihi 22.000 unit. Jumlah pelanggan yang menggunakan jaringan kategori ini mencapai sekitar 30 juta orang dari total 54,5 juta orang.
Pencapaian XL Axiata tahun 2017 yaitu cakupan layanan data 3G mencapai 93 persen dari total populasi dan 4G LTE sudah sekitar 85 persen. Jaringan 4G LTE telah menjangkau sekitar 360 kabupaten/kota di berbagai wilayah Indonesia dengan lebih dari 17.000 unit pemancar. Sebagian telah menjangkau luar Jawa.
Rahmadi menambahkan, perusahaan memperhatikan kecepatan pengiriman internet, kestabilannya, dan penambahan kapasitas. Upaya ini bertujuan memenuhi permintaan kualitas layanan data seluler dari pelanggan.
Kelima operator, Telkomsel, XL Axiata, Indosat Ooredoo, Hutchison 3 Indonesia, dan Smartfren Telecom, meluncurkan secara serentak layanan seluler berteknologi 4G LTE pada tanggal 6 Juli 2015. Layanan ini menawarkan kecepatan untuk unduh data hingga 100 megabyte per detik dan unggah hingga 15 megabyte per detik.
Sebelumnya, Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (BAKTI) Anang Latif, dalam acara LTE Conference 2018, Kamis (25/5/2018) pekan lalu, di Jakarta, menyampaikan data Peta Sebaran Seluler Tahun 2017. Di Indonesia, luas pemukiman mencapai sekitar 44.565 kilometer persegi dan jumlah desa sekitar 83.218.
Pada tahun 2017, tingkat keterjangkauan (coverage) layanan jaringan berteknologi 2G tercatat sudah mencapai 88,28 persen dari total desa, 98,13 persen dari total luas pemukiman. Adapun jumlah titik lokasi pemasangan infrastruktur (site) sekitar 133.903 site.
Tingkat keterjangkauan layanan jaringan berteknologi 3G tercatat telah mencapai sekitar 75,09 persen dari total desa, sekitar 92,91 persen dari keseluruhan luas pemukiman. Titik lokasi pemasangan infrastruktur (site) berjumlah sekitar 171.007 site.
Adopsi teknologi layanan telekomunikasi baru tidak bisa hanya sebatas memperhatikan infrastruktur jaringan akses
Sekitar dua tahun lebih sejak komersialisasi serentak tahun 2015, data BAKTI menunjukkan tingkat keterjangkauan layanan jaringan berteknologi 4G LTE sudah berkisar 50,88 persen dari total desa dan 74,09 persen dari total luas pemukiman. Titik lokasi pemasangan infrastruktur (site) berjumlah sekitar 12.701 site.
Edukasi
Direktur Eksekutif Indonesia Information Communication Technology Institute Heru Sutadi mengatakan, penggelaran jaringan telekomunikasi dengan teknologi baru biasanya dimulai dari kota besar, kemudian kota kecil sampai desa. Setelah kota besar menerima teknologi baru, misalnya 4G LTE, maka operator biasanya akan memindahkan jaringan 3G ke kota lebih kecil atau pedesaan.
Menurut dia, adopsi teknologi layanan telekomunikasi baru tidak bisa hanya sebatas memperhatikan infrastruktur jaringan akses. Ada beberapa hal lain yang harus menjadi atensi, seperti jaringan tulang punggung, jaringan transmisi antara pemancar (backhaul), dan gawai.
"Saat ini, fokus penggelaran jaringan telekomunikasi memang menggunakan teknologi 4G LTE. Akan tetapi, tidak semua wilayah di Indonesia akan memerlukan penggelaran 4G LTE karena daerah itu mungkin cukup 3G dan bahkan 2G. Sejumlah gawai masih ada yang hanya memiliki kemampuan 2G," ujar Heru.
Dia berpandangan, produk terhubung internet atau internet of things (IoT) menggunakan layanan jaringan telekomunikasi berteknologi 4G LTE telah mulai diimplementasikan di beberapa bidang industri. Hanya saja, sampai sekarang sejumlah operator telekomunikasi seluler kesulitan model bisnis IoT. Pasarpun masih menganggap otomatisasi, seperti pemanfaatan IoT, sebagai suatu kemewahan.
"Ekosistemnya dibangun dulu. Masyarakat diedukasi. Infrastruktur jaringannya disiapkan betul," imbuh dia.
Pengajar Sekolah Tinggi Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung, Ridwan Effendi, berpendapat, penambahan tingkat keterjangkauan layanan telekomunikasi berteknologi 4G LTE perlu disertai edukasi manfaat teknologi itu.
"Sekarang, harga gawai ataupun layanan 3G dan 4G LTE hampir sama saja. Jadi, ada baiknya memang lompat saja dari teknologi 2G ke 4G LTE. Tugas pemerintah belum selesai dengan mendorong perluasan infrastruktur jaringan 4G LTE dan saatnya gencar pula edukasi terkait manfaat teknologi itu," kata dia. (MED)