Paradoks dalam Perekonomian Indonesia
Perekonomian Indonesia selama 20 tahun pascareformasi mengalami paradoks. Sejumlah koreksi yang dilakukan memberi manfaat positif. Namun, pada saat yang sama, sejumlah persoalan juga melekat.
Paradoks itu setidaknya meliputi tiga hal. Pertama, perekonomian Indonesia melalui berbagai koreksi sistem moneter dan fiskal semakin memiliki daya tahan terhadap gejolak atau tekanan ekonomi. Namun, pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan.
Perbaikan daya tahan ekonomi terbukti saat krisis keuangan global pada 2008. Saat itu, Indonesia mengalami gejolak, tetapi tidak sampai jatuh pada krisis sebagaimana terjadi pada 1998.
Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan. Selama 1968-1996, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 7-8 persen per tahun. Ada periode yang pertumbuhannya di bawah itu, tetapi relatif pendek, yakni pada 1981-1987.
Saat itu laju pertumbuhan ekonomi bergejolak, dari yang terendah 2,25 persen hingga yang tertinggi 7,9 persen. Rata-rata, pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen per tahun.
Krisis ekonomi menghantam Asia pada Juni 1997. Pertumbuhan ekonomi tahun itu anjlok menjadi 4,7 persen. Titik nadirnya terjadi setahun kemudian ketika pertumbuhan ekonomi mencapai -13,16 persen.
Setelah 1998 atau pascareformasi, pertumbuhan ekonomi rata-rata tak sampai 6 persen per tahun. Kondisi ini terbantu oleh ledakan harga komoditas. Pertumbuhan tertinggi periode pascareformasi sampai dengan 2017 terjadi pada 2011, yakni 6,5 persen.
Setelah 1998 atau pascareformasi, pertumbuhan ekonomi rata-rata tak sampai 6 persen per tahun. Kondisi ini terbantu oleh ledakan harga komoditas. Pertumbuhan tertinggi periode pascareformasi sampai dengan 2017 terjadi pada 2011, yakni 6,5 persen.
Berikutnya pertumbuhan ekonomi terus melambat dan akhirnya stagnan di kisaran 5 persen sejak 2014 sampai 2017. Bahkan, stagnasi bisa berlanjut tahun ini. Pemerintah dan DPR menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini 5,4 persen. Sementara berbagai instansi memproyeksikan 5,1-,5,3 persen.
Paradoks kedua terjadi di perbankan. Pascareformasi, perbankan solid, tetapi fungsi intermediasinya lemah. Sejumlah indiktor mengonfirmasi soliditas perbankan, di antaranya rasio kecukupan modal yang mapan, keuntungan yang terjaga, dan efisiensi yang membaik.
Adapun fungsi intermediasi yang lemah ditunjukkan dengan penyaluran kredit yang melambat setelah mencapai 25,5 persen pada 2011. Bahkan, pada tiga tahun terakhir, pertumbuhannya selalu di bawah 10 persen. Pola yang sama juga terjadi pada pertumbuhan dana pihak ketiga.
Paradoks ketiga adalah perekonomian Indonesia menjadi terbuka, tetapi sektor keuangan tipis sehingga rawan bergejolak. Investasi, baik langsung maupun portofolio, terus tumbuh. Namun, karena sektor keuangan domestik dangkal, besarnya dana asing yang diinvestasikan dalam bentuk portofolio bisa sewaktu- waktu terbang ke luar saat terjadi gejolak keuangan global.
Untuk itu, perekonomian Indonesia harus mengatasi setidaknya tiga masalah pokok, yakni sektor keuangan yang dangkal, daya saing industri yang rendah, dan kesenjangan ekonomi.
Periode selanjutnya
Lalu, apa tantangan pada 2018 dan periode selanjutnya? Tahun ini dan tahun depan adalah tahun politik bagi Indonesia.
Ketidakpastian yang bersumber dari politik itu terjadi di dalam negeri dan luar negeri. Dari dalam negeri, Indonesia akan menghelat pemilihan kepala daerah serentak di 2018 dan 2019 serta pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden-wakil presiden pada 2019.
Sejumlah negara dan kawasan juga mengalami ketidakpastian akibat politik, misalnya ketegangan di Timur Tengah, persoalan nuklir, dan kontroversi kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Semua ini akan memengaruhi perekonomian global.
Tantangan yang tengah dan akan makin dialami perekonomian nasional dan global adalah kemajuan teknologi. Hal mutakhir, pertumbuhan ekonomi digital dan revolusi industri 4.0.
Dengan demikian, ketidakpastian pada 2018 dan tahun-tahun berikutnya semakin tinggi. Indonesia merupakan wahana yang bagus untuk mengapitalisasi kemajuan teknologi. Setelah 20 tahun krisis, banyak pekerjaan rumah yang bisa diselesaikan. Teknologi bisa membantu. Akan tetapi, ada syaratnya, yakni didesain dengan baik.
Namun, ada kritikan bahwa pembangunan selama 20 tahun pascareformasi belum menghasilkan keadilan sosial. Bahkan, kondisinya justru masih jauh dari harapan.
Hal ini antara lain tecermin dari ketimpangan penguasaan lahan. Ada perusahaan yang mengelola 5,5 juta hektar lahan. Namun, ada juga warga RI yang sama sekali tidak mempunyai lahan garapan.
Karena itu, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan didesak untuk benar-benar mewujudkan keadilan sosial. Keadilan sosial adalah modal dasar untuk perekonomian Indonesia.
Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan didesak untuk benar-benar mewujudkan keadilan sosial. Keadilan sosial adalah modal dasar untuk perekonomian Indonesia
Tantangan
Secara terpisah, di luar diskusi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pembangunan selama 20 tahun pasca- reformasi mencatatkan sejumlah capaian positif. Namun, tantangan struktural juga muncul, yang terutama menyangkut perubahan struktur demografi dan struktur perekonomian nasional.
Jumlah penduduk Indonesia meningkat 25 persen dari 207 juta pada 1999 menjadi 259 juta pada 2017, dengan dominasi penduduk usia produktif. Merujuk data Bank Dunia, 52 juta jiwa di antaranya adalah kelas menengah.
Bank Dunia melalui laporan 2014 juga menyebutkan, urbanisasi di Indonesia semakin intensif. Pertumbuhannya 4 persen per tahun.
Perubahan struktur perekonomian Indonesia merujuk pada perekonomian yang lebih terdiversifikasi. Peranan investasi lebih besar dalam perekonomian, dari 27 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 1997 menjadi 32,2 persen PDB di 2017.
Porsi sektor jasa dalam perekonomian terus membesar. Sementara sektor manufaktur cenderung menyusut. Porsi konstruksi juga meningkat seiring prioritas pemerintah pada percepatan pembangunan infrastruktur.
Tantangan struktural lain adalah kualitas sumber daya manusia yang rendah, kurangnya koordinasi pusat-daerah, dan tidak sinkronnya peraturan. Salah satu hal yang dilakukan untuk menghadapi tantangan itu adalah memperkuat industrialisasi. Caranya, dengan memperbaiki iklim usaha.
Sementara untuk menciptakan penyebaran pertumbuhan ekonomi yang lebih merata, pemerintah berkomitmen membangun dari pinggiran. Adapun untuk membangun kualitas SDM yang lebih baik, pemerintah antara lain mengalokasikan anggaran belanja negara ke fungsi pendidikan dan fungsi kesehatan.