JAKARTA, KOMPAS--Sebagian besar bahan baku industri farmasi diimpor. Akibatnya, industri ini terkena dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Untuk menyiasati kondisi ini, masing-masing perusahaan farmasi menyusun strategi. Sampai dengan Selasa (22/5/2018), salah satu strategi, yakni menaikkan harga jual, belum dilakukan.
Presiden Direktur PT Kalbe Farma Tbk Vidjongtius mengakui, nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dollar AS berdampak nyata. "Kami mematok nilai tukar rupiah Rp 13.500 per dollar AS untuk perhitungan transaksi. Sekarang nilai tukar sudah melebihi cukup jauh dari patokan kami," katanya.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) kemarin, nilai tukar rupiah Rp 14.178 per dollar AS.
Untuk menghadapi hal itu, Kalbe melihat ulang kombinasi produk campuran yang memiliki marjin yang lebih baik, sambil melakukan efisien internal proses produksi dan rantai pasok.
Kalbe, tambah Vidjong, sedang mempertimbangkan untuk menaikkan harga jual produk. Akan tetapi, menaikkan harga juga bukan pilihan yang baik, karena mempertimbangkan daya beli masyarakat. "Kami masih mempertimbangkan beberapa produk obat bebas dan konsumer serta nutrisi yang barangkali masih ada ruang kenaikan harga," kata Vidjong.
Sekretaris Perusahaan PT Kimia Farma (Persero) Tbk Ganti Winarno Putro memastikan, Kimia Farma tidak akan menaikkan harga jual produk, kendati nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah. Sekitar 90 persen bahan baku diimpor.
"Kami belum berencana menaikkan harga karena sebetulnya kami tidak terlalu terimbas dengan pelemahan kurs kali ini, walaupun bahan baku kami sebagian besar impor," kata Ganti.
Strategi membeli bahan baku secara besar-besaran pada 2017 terasa manfaatnya saat ini. "Tahun ini dan tahun depan relatif aman," ujarnya.
Saat membeli bahan baku, Kimia Farma menggunakan nilai tukar rupiah di pasar tunai. Pembelian dalam jumlah besar membuat posisi tawar Kimia Farma menjadi lebih tinggi sehingga menekan harga bahan baku hingga 50 persen.
Substitusi
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto secara terpisah menyampaikan, perlu pendalaman struktur bagi industri yang memenuhi kebutuhan domestik, termasuk industri farmasi. Sebab, 90 persen bahan baku industri farmasi masih harus diimpor.
Keberadaan industri substitusi impor di dalam negeri dinilai bisa menyelamatkan sebagian devisa. "Kami terus mendorong program kandungan lokal sehingga semakin banyak pendalaman struktur di industri farmasi," kata Airlangga.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, sekitar 60-70 persen bahan baku industri farmasi nasional berasal dari India dan China. "Kami mendorong agar transaksi impor bahan baku obat tidak menggunakan dollar AS, tetapi dengan mata uang rupee India atau yuan China," katanya.
Achmad menuturkan, pertumbuhan industri farmasi per triwulan I-2018 mencapai 7,36 persen dalam setahun. Pada Januari-Maret 2018 ada 43 proyek penanaman modal di sektor farmasi. Jumlah itu terdiri dari 20 proyek penanaman modal dalam negeri dengan nilai investasi Rp 269,431 miliar dan 23 proyek penanaman modal asing dengan nilai Rp 1,4 triliun.