JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mengingatkan potensi kebocoran penerimaan negara dalam jual beli batubara untuk ekspor. Diduga, ada ketidaksesuaian data jumlah batubara yang dijual ke luar negeri yang didapat pemerintah dengan data sesungguhnya di lapangan. Verifikasi yang melibatkan para pihak terkait direkomendasikan.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, pihaknya menduga ada ketidaksesuaian data antara jumlah batubara yang diekspor dengan data riil di lapangan. Perbedaan data tersebut berpotensi menyebabkan hilangnya penerimaan negara, seperti dari sektor pajak atau royalti. Selisih tersebut bisa dikatakan signifikan.
"Selain itu, perdagangan batubara (ekspor) kan kerap lewat trader (perantara dagang). Mata rantainya lebih panjang. Akan lebih baik apabila penjualan langsung dilakukan lewat pemerintah ke konsumen akhir di luar negeri," ujar Agus, Kamis (17/5/20180, di Jakarta.
Penasihat KPK Tsani Annafari menambahkan, penghitungan soal kuantitas dan mutu batubara dilakukan pihak ketiga (surveyor). Dalam praktiknya, ada potensi konflik kepentingan saat pengusaha batubara membayar surveyor tersebut. Konflik kepentingan itu bisa berdampak terhadap tidak validnya data yang dicatat surveyor atau data yang dilaporkan ke pemerintah tidak sesuai dengan data riil di lapangan.
"Sebaiknya, penghitungan itu melibatkan para pihak, seperti Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, Bea dan Cukai, maupun dari surveyor itu sendiri. Dengan demikian akan ada check dan balance yang baik untuk akurasi data," kata Tsani.
Secara terpisah, Manajer Advokasi pada Publish What You Pay Indonesia, koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas sumber daya ekstraktif, Aryanto Nugroho, mengatakan, tata kelola sektor tambang di Indonesia masih menyisakan sejumlah persoalan. Hasil koordinasi dan supervisi dengan KPK ada ribuan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Selain itu, ada pula pemegang IUP yang tak melaporkan surat pemberitahuan (SPT) pajak.
"Potensi pajak dari sektor tambang mineral dan batubara yang tidak melaksanakan kewajibannya mencapai Rp 6 triliun per tahun. Potensi tersebut hilang lantaran pemegang IUP yang sudah berproduksi tak membayar pajak kepada pemerintah. Selain itu, diduga kuat pajak penghasilan yang dilaporkan jauh lebih kecil dari nilai sesungguhnya," ucap Aryanto.
Sebelumnya, Ketua Tim Pencegahan Korupsi Sumber Daya Alam KPK Dian Patria mengungkapkan, koordinasi dan supervisi sektor tambang yang dilakukan KPK sejak Februari 2014 menemukan sejumlah kejanggalan. Dari 10.000 lebih IUP, sekitar 90 persen tidak menyetorkan dana jaminan reklamasi lahan, 70 persen tidak membayar pajak dan royalti, serta 36 persen tidak memiliki NPWP (Kompas, 1/8/2017).
”Data per Desember 2016, tunggakan pajak dan royalti pemegang IUP mencapai sekitar Rp 4 triliun. Ada potensi tunggakan itu tak tertagih karena alamat perusahaan fiktif atau pemiliknya tidak jelas,” kata Dian.
Data dari Kementerian ESDM menyebutkan, penerimaan negara bukan pajak sektor tambang mineral dan batubara pada 2017 tercatat sebesar Rp 40,6 triliun. Perolehan itu lebih tinggi dari 2016 yang sebesar Rp 32,7 triliun. Sepanjang 2015-2017, pemerintah daerah telah mencabut 2.595 IUP yang bermasalah dan kini tersisa 6.565 IUP yang dinyatakan clear and clean (bersih tanpa masalah).