JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia dinilai terlalu reaktif menyikapi revolusi industri keempat. Hal ini bisa dilihat dari minimnya kebijakan yang memperhatikan sumber daya manusia.
Demikian benang merah diskusi ”Hear the Expert: Kebijakan Tenaga Kerja di Era Digital” yang diselenggarakan oleh The Conversation dan Co-Working Space Ke:Kini, Selasa (15/5/2018) malam, di Jakarta.
Hadir sebagai pembicara dosen Sosiologi Universitas Indonesia, Hari Nugroho; komisioner Ombudsman RI, Alvin Lie, dan Koordinator Riset Purusha Research Cooperative Hizkia Yosie Polimpung.
Pemerintah telah mengeluarkan peta jalan Indonesia untuk menghadapi revolusi industri keempat yang disebut yang disebut Making Indonesia 4.0. Peta jalan ini salah satunya memuat kebijakan pengembangan lima sektor manufaktur, yakni makanan dan minuman, elektronik, tekstil dan busana, kimia, dan otomotif. Alasannya, sekitar 84 persen permintaan ekonomi dunia terpusat pada lima sektor tersebut.
Namun, menurut Hizkia, arus penanaman modal yang masuk tidak banyak menyasar sektor manufaktur. Suntikan investasi untuk riset teknologi digital tetap terjadi di negara-negara maju, sedangkan penerapannya di pabrik berlangsung di negara berkembang, seperti Indonesia.
Dia mengatakan, tren pemakaian teknologi digital tidak bisa dilepaskan dari rantai pasok global. Beberapa negara maju sudah siap dan bahkan memanfaatkannya untuk menunjang industri mereka. Produksi menjadi semakin cepat dan efisien.
”Upah pekerja pun tidak lagi didasarkan pada durasi waktu bekerja. Sebagai gantinya, upah didasarkan pada tugas yang berhasil diselesaikan oleh buruh. Akibatnya, pengusaha tidak akan berpikir mengenai jaminan sosial,” ujarnya.
Oleh sebab itu, lanjut Hizkia, kondisi pekerja akan semakin rentan. Apalagi sejumlah pekerja tidak mempunyai posisi tawar kuat di hadapan pengusaha. Posisi tawar bisa diperoleh dari spesialisasi kompetensi.
”Situasi sekarang adalah seolah-olah memperoleh pekerjaan mudah sekali. Kenyataannya, sebagian besar karyawan sibuk mencari pekerjaan lepas atau freelance di luar pekerjaan utama. Banyak pula pekerja mengeluhkan upah semakin murah,” katanya.
Hari menambahkan, Indonesia tengah mengalami euforia ekonomi digital. Situasi ini melupakan potensi kerentanan hak pekerja.
Sebagai ilustrasi, model bisnis kemitraan antara pengemudi angkutan daring dan pemilik aplikasi. Popularitas model bisnis ini terus menanjak. Pemerintah juga mendukung.
Meski disebut kemitraan, pengemudi tidak mempunyai posisi tawar setara. Serikat yang mereka bentuk sering kali diabaikan.
Menurut Alvin, investasi sumber daya manusia sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah melalui 20 persen APBN untuk pendidikan. Kebijakan ini mulai berlaku sekitar tahun 2003.
”Lebih dari satu dekade kebijakan itu diterapkan. Namun, saya hanya melihat dana itu dipakai untuk digitalisasi perangkat pendukung pembelajaran. Hal esensial, seperti menyiapkan kurikulum kompetensi manusia di era digital, malah cenderung terlupakan,” ujarnya.