JAKARTA, KOMPAS - PT Garam menargetkan produksi garam tahun ini sebesar 375.000 ton di Madura dan Nusa Tenggara Timur. Sebanyak 255.000 ton atau hampir 70 persen produksi akan dipasok untuk memenuhi kebutuhan garam industri.
Direktur Utama PT Garam Budi Sasongko, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (11/5/2018), mengemukakan, lahan - lahan garam milik BUMN tersebut kini mulai memasuki musim produksi. Ia memprediksi cuaca tahun ini cukup baik untuk mendukung peningkatan produksi. Produksi garam industri pada tahun ini diperkirakan bisa naik hingga 3 kali lipat dibandingkan tahun lalu.
Produksi garam dari lahan PT Garam di Madura tahun ini ditargetkan menembus 350.000 ton. Dari jumlah itu, sebanyak 70 persen atau 245.000 ton diperuntukkan bagi bahan baku kebutuhan industri, seperti industri kertas, tekstil dan aneka pangan.
Sementara itu, produksi garam di Bipolo tahun ini ditargetkan sebanyak 25.000 ton yang bersumber dari lahan seluas 304 ha. Dari jumlah itu, sekitar 10.000 ton akan dipasok untuk kebutuhan industri. PT Garam saat ini juga tengah memproses perluasan lahan garam di Bipolo seluas 225 ha yang akan ditujukan untuk garam industri.
Tahun 2017, jumlah garam industri yang dihasilkan PT Garam sebesar 70.000 ton atau 36 persen dari total produksi 194.000 ton. "Kenaikan produksi hingga 2,5 kali lipat dapat tercapai apabila ditunjang oleh cuaca yang baik," kata Budi.
Harga Eceran
Sementara itu, PT Garam berencana menjadi penyangga untuk mengatur harga garam memasuki musim panen. Musim panen garam diprediksi berlangsung mulai bulan Juni 2018.
Budi mengemukakan, harga eceran tertinggi (HET) garam industri diusulkan Rp 2.500 per kg, hampir setara dengan HET garam untuk konsumsi. HET tersebut diharapkan mendukung nilai tambah dan melindungi petambak rakyat.
"Bahan baku garam, baik garam untuk industri maupun konsumsi pada dasarnya sama. Untuk itu, harga bahan baku garam industri dan konsumsi diarahkan setara, supaya petambak terlindungi dan prosesor garam industri pun mendapatkan harga yang terkendali," katanya.
Pemerintah menargetkan ekstensifikasi lahan garam seluas 20.000 hektar secara bertahap di wilayah timur Indonesia, hingga tahun 2020. Dengan perluasan tambak, diharapkan terjadi peningkatan produksi garam industri sebanyak dua juta ton. Potensi perluasan lahan garam mencapai 40.000 hektar. Namun, perluasan membutuhkan waktu, terutama untuk legalisasi lahan. Saat ini, 10.000 ha lahan sedang dalam proses dibebaskan dan beberapa di antaranya mulai digarap.
Lahan 10.000 ha itu, antara lain, berasal dari perluasan tambak di Teluk Kupang (Nusa Tenggara Timur) seluas 2.500 ha dari total 3.729 ha. Tambak itu akan dikelola oleh PT Puncak Keemasan Garam Dunia. Adapun PT Garam memperoleh alokasi 225 ha garam di Bipolo (NTT) yang kini tengah dikelola menjadi lahan garam industri.
Bahan baku garam, baik garam untuk industri maupun konsumsi pada dasarnya sama
Ekstensifikasi lahan juga direncanakan di Nagekeo (NTT) seluas 777 ha. Sejumlah 540 ha di antaranya akan dikelola oleh PT Cheetham Garam Indonesia melalui kerja sama dengan pemerintah daerah. Selebihnya dikelola masyarakat melalui sistem inti plasma. Di Kabupaten Malaka (NTT), usulan pengelolaan sudah masuk seluas 11.000 ha. Sejumlah 4.600 ha di antaranya mendapat izin lokasi untuk Roda Mas. Selain itu, 6.000 ha sedang diproses di Kabupaten Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan, NTT.
Secara terpisah, Tenaga Ahli Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Hernando Wahyono mengemukakan, lahan garam industri masih dalam proses pembebasan lahan, yakni 35.000 ha. Produksi diperkirakan baru dimulai akhir tahun dan hasil panen baru terlihat pada 2019. Untuk tahap awal, produksi garam industri ditargetkan sebanyak 500.000 ton untuk pemenuhan kebutuhan industri aneka pangan.