Produksi Migas Harus Digenjot untuk Imbangi Konsumsi
Oleh
ADI SUCIPTO
·5 menit baca
GRESIK, KOMPAS — Produksi minyak dan gas di Indonesia tidak sebanding dengan kebutuhan baik untuk konsumsi masyarakat ataupun industri. Produksi minyak mencapai 700.000-800.000 barrel per hari (bph), sementara kebutuhan atau konsumsinya mencapai 1,6 juta bph. Pasokan gas sebanyak 7.651 juta standar kaki kubik per hari (million metric standard cubic feed per day/MMSCFD), sementara permintaan mencapai 9.323 MMSCFD. Kekurangan produksi itu masih dipenuhi dengan impor.
Kepala Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi Perwakilan Jawa Bali Nusa Tenggara (Jabanusa) Ali Masyhar di Gresik, Jawa Timur, Rabu (9/5/2018), menyatakan, untuk memenuhi kebutuhan migas, maka produksi harus digenjot dengan mencari sumber migas baru. Selain itu, juga perlu inovasi pemanfaatan sumber energi nonfosil, seperti panas bumi, matahari, air, dan angin, untuk sektor transportasi dan industri.
”Jika tak ada pasokan energi, pada hakikatnya sebuah negara sama saja mati. Industri bisa terhenti. Transportasi butuh bahan bakar minyak, pembangkit listrik pun masih menggunakan gas dan solar,” ujar Ali dalam Lokakarya yang diikuti 41 wartawan dari berbagai media dan perwakilan dari perusahaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sektor migas.
Menurut Ali, Jatim masih menjadi lumbung migas, dari produksi minyak nasional 800.000 bph, 30 persen di antaranya disumbang dari produksi lapangan migas di Jatim. Jatim juga berkontribusi 10-12 persen dari total pasokan gas di Indonesia.
Di Jatim ada 32 perusahaan KKKS di wilayah kerja SKK Migas Jabanusa, 16 di antaranya telah berproduksi. Produksi minyak tertinggi dari Blok Cepu menyumbang sekitar 150.000 bph hingga 200.000 bph.
Jika tak ada pasokan energi, pada hakikatnya sebuah negara sama saja mati.
Ali menambahkan, untuk gas tidak bisa langsung dieksploitasi karena harus menunggu pembeli dulu. Tidak semua temuan kandungan gas bisa langsung dieksploitasi karena gas harus menunggu pembeli lebih dahulu. Gas tidak bisa disimpan dalam tabung, kecuali dengan pengelolaan teknis yang rumit, sehingga harus ada pembelinya baru bisa diproduksi.
Pasar industri
Kepala Divisi Monetisasi dan Komersialisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas Waras Budi Santoso menyebutkan, Jatim masih menyimpan potensi gas dari lapangan lepas pantai yang dikelola Kangean Energi, Husky CNOOC Madura Limited (HCML) dan Petronas. Ada empat lapangan milik Husky yang siap berproduksi sehingga Husky akan menjadi penyangga dan tulang punggung dalam penyediaan energi gas bumi di Jatim dan Indonesia.
Namun, ada beberapa faktor yang menghambat eksplorasi dan eksplotasi hingga gas sampai ke tangan pembeli. Ketidaktepatan jadwal produksi gas membuat KKKS yang sudah berkomitmen memproduksi isa dirugikan ketika calon konsumen beralih ke solar dan batubara.
Produksi gas HCML sebanyak 30 MMSCFD di perairan Sampang, Madura, sejak 2017 hingga kini belum terserap pasar secara maksimal. Padahal, ada empat lapangan baru HCML yang bisa menambah produksi. ”Pemerintah berupaya membuat deregulasi agar rantai perizinan dalam industri hulu migas tidak menjadi hambatan,” tutur Waras.
Gas HCML dari lapangan lepas pantai Sumenep diharapkan bisa berproduksi mulai 2019. Produksi gas itu akan dimanfaatkan PT Petrokimia Gresik yang mengembangkan pabrik Amoniak Urea II. Manajer Pengembangan PT Petrokimia Gresik Hari Winarto menyebutkan, pabrik itu membutuhkan gas sebesar 85 MMSCFD.
Saat ini pasokan gas untuk pabrik amoniak urea I yang beroperasi sebanyak 65 MMSCFD dipasok empat KKKS. Gas menjadi salah salah bahan utama pupuk urea. ”Kami bisa tenang saat produksi gas di Jatim baik,” kata Hari.
General Manager PT Pembangkitan Jawa Bali Unit Pembangkit Gresik Ompang Reski Hasibuan menyatakan, saat ini ada tiga pembangkit listrik PT PJB yang menggunakan gas, yakni Pembangkit Muara Karang, Pembangkit Muara Tawar serta Unit Pembangkit Gresik. Pembangkit lain, seperti di kawasan pembangkit listrik Paiton sesuai kebutuhan, jika kebutuhan pasokan listrik tinggi dan membutuhkan produksi yang cepat digunakan batubara dan gas. ”Gas lebih bersih dan minim polusi, tetapi kami harus mengikuti aturan menggunakan batubara yang melimpah,” katanya.
Keberadaan migas bukan hanya bermanfaat bagi sektor industri, tetapi juga bagi pemerintah setempat. Di Gresik ada sejumlah perusahaan KKKS migas, seperti PGN Saka Indonesia Pangkah Limited, Petronas, dan Joint Operating Body Pertamina Petrochina East Java.
Wakil Bupati Gresik Mochammad Qosim menyebutkan, dana bagi hasil dari migas untuk Kabupaten Gresik pada 2017 mencapai Rp 27 miliar. Tahun ini dana bagi hasil migas ditargetkan Rp 30 miliar dan pada Januari-April sudah mencapai Rp 9 miliar. ”Ini belum termasuk manfaat dana CSR dari perusahaan migas,” katanya.
Senior Manager Corporate Affairs and Administration Petronas Carigali Muriah Andiono Setiawan berharap produksi minyak dapat digenjot hingga 20.000 bph, sedangkan produksi gas sekitar 37 MMSCFD atau 46 juta metrik british thermal unit (million metric british thermal unit/MMBTU). Gas yang diproduksikan dari Lapangan Bukit Tua akan dialirkan ke PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk mendukung penyediaan listrik di Jatim melalui Petrogas Jatim Utama (PJU), Badan Usaha Milik Daerah Provinsi Jatim.
Saat ini ada lima struktur sumur di wilayah kerja Ketapang, yakni Bukit Tua Selatan, Jenggolo, Bukit Panjang, Payang, dan Teram. Petronas membangun pipa dasar laut sepanjang 110 kilometer dari fasilitas penerimaan darat atau onshore receiving facilities (ORF) berkapasitas 70 MMSCFD di Kawasan Industri Maspion (KIM), Manyar, Gresik, Jawa Timur.
Petronas juga menggunakan unit produksi terapung (FPSO) untuk mengambil minyak mentah di lautan sekaligus memprosesnya menjadi minyak jadi untuk dialirkan ke Pertamina. Sejak Mei 2015, produksinya mencapai 17.000 bph.