JAKARTA, KOMPAS — Pesatnya perkembangan industri layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi belum diikuti dengan transparansi informasi. Jika dibiarkan, hal ini bisa merugikan hak konsumen dan keberlanjutan pertumbuhan industri jangka panjang.
Direktur Eksekutif Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia M Ajisatria Suleiman, Rabu (9/5/2018), di Jakarta, mengatakan, asosiasi sedang merampungkan penyusunan pedoman perilaku atau semacam kode etik layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Pedoman perilaku yang dimaksud memuat antara lain praktik bertanggung jawab, peta industri beserta model bisnis dan target segmen pasar, serta informasi mekanisme pelayanan.
Menurut dia, di lapangan terdapat temuan praktik-praktik tidak wajar. Sebagai contoh, pengenaan denda kepada warga berstatus debitor karena telat membayar pinjaman. Pembayaran denda disertai bunga. Contoh lain, debitor diminta menyetor dokumen data pribadi sebanyak-banyaknya, tetapi mereka tidak memperoleh penjelasan pemakaian data itu. Setelah ditelusuri, mereka mengetahui bahwa mereka sedang berhadapan dengan penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi yang belum beroperasi. Ajisatria mengklaim, kedua contoh praktik tidak wajar tersebut bukan dilakukan oleh perusahaan anggota asosiasi.
”Dengan adanya pedoman perilaku, kelak, kami berharap masyarakat menjadi lebih paham praktik wajar layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Apabila ingin jadi pengguna, baik pemberi maupun penerima pinjaman, mereka sudah paham harus memilih penyedia, produk, dan besaran bunga yang sesuai,” ujarnya.
Ajisatria mengemukakan, asosiasi telah berkomunikasi dengan OJK untuk membicarakan pedoman perilaku. OJK pun memberikan masukan. Kedua instansi sepakat mengedepankan transparansi informasi. Harapannya adalah pedoman bisa segera diterbitkan.
Dengan adanya pedoman perilaku, masyarakat diharapkan lebih paham praktik wajar layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi.
Bagi asosiasi sendiri, pedoman perilaku dapat dipakai untuk menilai perusahaan beserta praktik layanannya. Apabila menerima aduan adanya aktivitas tidak wajar dari masyarakat, asosiasi bisa menilainya berdasarkan pedoman dan menjadikanya sebagai bahan laporan ke OJK.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi menyebutkan, saat ini terdapat 52 perusahaan layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi yang berstatus terdaftar dan berizin dari OJK. OJK sedang memproses pengajuan pendaftaran 31 perusahaan.
Dia mengungkapkan bahwa OJK pun mengembalikan dokumen pendaftaran yang diajukan oleh 36 perusahaan layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi.
Pengembalian dokumen lebih karena faktor ketiadaan transparansi informasi kondisi dan manajemen perusahaan. OJK mengecek detail latar belakang pendiri, visi dan misi, penanam modal perusahaan, pemilik saham, sistem teknologi pengawasan, pusat data, serta kualitas manajemen.
Otoritas Jasa Keuangan berhati-hati terhadap potensi tindakan pencucian uang.
”Kami sangat berhati-hati terhadap potensi tindakan pencucian uang. Kami berusaha mencegah fraud. Industri ini boleh memiliki kantor ataupun pelayanan transaksi secara virtual, tetapi manajemen perusahaan harus nyata, transparan, dan jelas,” kata Hendrikus.
Dia membenarkan bahwa masih banyak warga awam terhadap keberadaan layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi, misalnya pengetahuan mengenai penetapan bunga pinjaman. Situasi yang berkembang sekarang yaitu warga yang tidak paham bunga menuding penyedia layanan seperti rentenir digital.
Padahal, penetapan bunga pinjaman di industri layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi bersifat demokrasi. Persentase bunga diberikan berdasarkan tingkat risiko yang melekat dalam diri calon debitor. Alasan lain adalah risiko yang diemban penyedia karena cepat memproses dokumen pengajuan pinjaman. Berangkat dari dua jenis risiko ini, persentase bunga cenderung tinggi.
”Bagi pelaku bisnis, terutama UMKM, hal terpenting adalah kepastian dana,” ujarnya.
Hendrikus menegaskan, OJK mendorong transparansi info bunga. Jika bunga pinjaman tergolong tinggi, penyedia layanan seharusnya menjelaskan alasannya. OJK tidak segan-segan memberikan surat peringatan kepada penyedia layanan yang menetapkan bunga tidak menggunakan cara demokratis.
”Kami berharap akan ada 163 perusahaan layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi sampai akhir tahun 2018. Semakin banyak penyedia, semakin bagus melahirkan kompetisi pelayanan yang berkualitas dan sehat,” ujarnya.
Pada saat bersamaan, Esta Corporation (perusahaan investasi dan properti) memperkenalkan Esta Kapital Fintek, anak perusahaan yang bergerak di bidang usaha layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Esta Kapital Fintek terdaftar di OJK pada Desember 2017 dan beroperasi Maret 2018.
Direktur Utama Esta Kapital Fintek Junjungan Putra Rumapea mengatakan, target pasar utama adalah perempuan dan ibu rumah tangga yang ingin berwirausaha. Nilai pinjaman dimulai dari Rp 3,3 juta sampai maksimal Rp 10 juta. Total penerima pinjaman mencapai sekitar 531 orang dengan nilai Rp 2,1 miliar.
”Kami memiliki sistem credit scoring yang mampu meminimalkan risiko bagi pemberi dana. Pengembalian angsuran dari peminjam dilakukan secara mingguan,” ujar Junjungan.