Pengaturan Bisnis Uang Elektronik Diperketat
JAKARTA, KOMPAS - Industri uang elektronik yang berkembang pesat, baik sisi bisnis maupun inovasi teknologi digital, membuat Bank Indonesia melakukan gebrakan pengaturan baru. Inti pengaturan mencakup mulai kepemilikan, permodalan dan dana mengendap, sampai transaksi lintas negara.
Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa penyelenggara uang elektronik hanya dapat memperoleh izin dalam satu kelompok usaha yang sama. Penegasan ini dikeluarkan guna menyikapi tren aktivitas penyelenggaraan uang elektronik dan kegiatan jasa pembayaran digital lainnya yang dilakukan oleh satu entitas atau kelompok bisnis yang sama.
Mengacu Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018, penyelenggara jasa sistem pembayaran dikelompokkan menjadi dua, yakni front end dan back end. Kelompok front end terdiri dari kegiatan penerbit, acquirer, penyelenggara gerbang pembayaran, dompet elektronik, dan transfer dana. Adapun kelompok back end meliputi kegiatan prinsipal, penyelenggara switching, kliring, dan penyelesaian akhir.
"Kecenderungan sekarang bisnis front end dan back end penyelenggaraan elektronik inginnya dikuasai semua. Menguasai hulu hilir itu berbahaya dan bahkan telah dilarang di regulasi larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat," ujar Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko, Senin (7/5/2018), di Jakarta.
Selain alasan itu, BI mempertimbangkan perbedaan karakteristik bisnis dan risiko atas setiap usaha penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP).
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 menggantikan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/17/PBI/2016 tentang Uang Elektronik. Peraturan Bank Indonesia 20/6/PBI/2018 diundangkan pada tanggal 4 Mei 2018.
Penegasan izin dalam satu kelompok usaha yang sama juga diikuti dengan kebijakan kepemilikan tunggal. Kebijakan ini mencakup dua larangan. Pertama, BI melarang pihak berperan sebagai pemegang saham pengendali pada lebih dari satu PJSP yang memiliki izin jenis kegiatan usaha yang sama dalam satu kelompok. Kedua, BI melarang pihak menjadi pemegang saham pengendali pada lebih satu PJSP pada kelompok front end dan back end.
Akan tetapi, BI memperbolehkan pihak menjadi pemegang saham pengendali pada lebih dari satu PJSP yang memiliki izin kegiatan usaha berbeda di kelompok yang sama. Selain itu, BI mempersilahkan pihak mempunyai saham pengendali pada satu PJSP dan bukan pemegang saham pengendali pada satu PJSP lain di kelompok berbeda.
Kebijakan kepemilikan tunggal memastikan perlindungan konsumen terjamin. Tujuan tidak kalah penting yaitu BI menginginkan terciptanya industri uang elektronik yang sehat. Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, Ida Nuryanti, memastikan kebijakan kepemilikan tunggal adalah substansi baru. Substansi kebijakan ini langsung diikuti arahan waktu pelaksanaan aksi korporasi yang mengakibatkan perubahan pemegang saham pengendali atau holding period.
Holding period menyasar kepada lembaga penyelenggara uang elektronik selain bank. Mereka yang baru memperoleh izin PJSP baru boleh melakukan akuisisi atau penjualan setelah lima tahun beroperasi. Kami ingin memastikan kesehatan bisnis serta pertumbuhannya," tutur dia.
Ida mengatakan, semua pemegang izin PJSP harus menyetor rencana pengembangan bisnis ke BI. Dokumen rencana akan dikaji sesuai substansi Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018, lalu baru mendapat keputusan.
Menurut Ida, sejauh ini sudah ada penyelenggara uang elektronik yang bermain di kelompok front end dan back end sekaligus. Penyelenggara seperti ini diperbolehkan tetap menjalankan bisnis. Hanya saja, saat dia ingin melakukan pengembangan bisnis, misalnya holding ataupun mendirikan kegiatan usaha baru, dia wajib melaporkan rencana ke BI. BI akan memintanya menyesuaikan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018.
Onny mengemukakan BI terbuka kepada asing. Hanya saja, kehadiran asing harus bersama-sama mendukung peran lokal. Soal kepemilikan saham asing, BI mewajibkan porsi asing maksimal 49 persen. Dengan demikian, lokal tetap dominan. Dia menyebutkan sekitar lima perusahaan penyelenggara uang elektronik memiliki entitas asing. Kelimanya telah diberitahu mengenai substansi baru porsi kepemilikan saham.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/2018 mengatur tentang minimum modal disetor dan jumlah (dana float). Lagi-lagi, substansi ini menyasar ke lembaga selain bank. BI mewajibkan mereka mempunyai minimum modal disetor Rp 3 miliar. Kemudian, mereka wajib meningkatkan minimum modal disetor seiring dengan kenaikan jumlah dana
Ida menyebut substansi itu tidak hanya berlaku bagi pendaftar baru, tetapi juga bagi penyelenggara uang elektronik yang sudah beroperasi. Bagi pemain lama, BI berharap penyesuaian maksimal Juni 2019. Penyesuaian peningkatan minimum modal disetor seiring kenaikan jumlah rata-rata dana float dilakukan setiap penutup tahun.
Masih terkait dana float, BI menetapkan komposisi 30:70. Artinya, porsi dana float 30 persen wajib ditempatkan di kas penerbit uang elektronik sendiri dan giro bank kategori Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 4. Sisanya wajib ditempatkan ke instrumen keuangan yang sifatnya cair, seperti surat berharga negara. "Industri uang elektronik di Indonesia berkembang sangat pesat. Kami siap melakukan pengawasan terintegrasi. Dengan kata lain, pengawasan tak terbatas pada penyelenggara uang elektronik, melainkan sampai ke mitra pelaku usaha terkait," tegas Ida.
Untuk uang elektronik kategori closed loop, BI mewajibkan penerbitnya mengajukan izin apabila mempunyai dana float mencapai Rp 1 miliar atau lebih. Contoh uang elektronik kategori closed loop adalah StarBucks Card.
Ida mengungkapkan, beberapa penyelenggara uang elektronik asing telah masuk ke Indonesia. Misalnya, WeChat dan AliPay. Keduanya langsung bermitra dengan pedagang-pedagang di kawasan pariwisata, seperti Bali.
BI tidak tinggal diam. Melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/2018, uang elektronik yang diterbitkan di luar Indonesia hanya dapat dipakai bertransaksi di Indonesia dengan menggunakan kanal pembayaran yang terhubung gerbang pembayaran nasional. Penerbit uang elektronik asing itu juga wajib bekerja sama dengan PJSP berijin, yakni bank BUKU 4.
"Kalau perusahaan teknologi asing mau masuk Indonesia, lalu menerbitkan uang elektronik, kami perbolehkan. Hanya saja, porsi kepemilikan saham mereka maksimal 49 persen," ujar Onny menjawab pertanyaan media tentang wacana perusahaan mesin pencari global yang ingin menerbitkan uang elektronik di Indonesia.
Morgan Stanley dalam laporan "Disruption Decode, Indonesia:Digital Disruption" (April 2018) menyebutkan, penetrasi uang elektronik di Indonesia mencapai 2 persen pada 2017. Penetrasi diproyeksikan naik sampai lebih dari 24 persen pada akhir tahun 2027.
Direktur Eksekutif dan Kepala Riset Indonesia di Morgan Stanley, Mulya Chandra, mengungkapkan, penyelenggara uang elektronik bukan bank cenderung inovatif. Mereka mempunyai modal besar dan berani berinovasi. Sebagai contoh, perusahaan aplikasi transportasi umum atau ride hailing seperti Go-Jek mempunyai Go-Pay. Go-Pay kini telah dipakai bertransaksi untuk segala jenis fitur layanan di platform Go-Jek.
"Industri teknologi finansial khususnya jasa pembayaran terus berkembang dan menuju skala besar. Pemain e-dagang juga ikut bermain. Beberapa produk pembayaran yang dikembangkan malah overlap dengan milik bank," kata Mulya.