JAKARTA, KOMPAS — Grup Lippo menargetkan pembangunan 10 rumah sakit di Indonesia tahun ini dengan nilai investasi di kisaran Rp 3 triliun. Pembangunan rumah sakit diutamakan di kota kecil atau daerah pelosok.
CEO Lippo Group James T Riady, di Jakarta, Selasa (8/5/2018), mengatakan, permintaan kesehatan di Indonesia sangat besar, sedangkan aksesibilitas layanan kesehatan di Indonesia saat ini masih belum optimal.
”Ini merupakan tantangan besar, yakni bagaimana memberikan layanan kesehatan. Tantangan pengembangan rumah sakit adalah keberanian, investasi, dan sumber daya manusia. Tidak gampang mendapatkan SDM yang terampil,” katanya dalam diskusi ”Peluang dan Tantangan dalam Menghadapi Dinamika Layanan Ekonomi Kesehatan di Indonesia”.
Pada triwulan I-2018, dua rumah sakit telah selesai dibangun, yakni di Lubuk Linggau (Sumatera Selatan) dan Jember (Jawa Timur). Sementara satu rumah sakit di Magelang (Jawa Tengah) kini dalam tahap penyelesaian akhir (topping off). Adapun rumah sakit yang dalam tahap penyelesaian pembangunan antara lain di Semarang, Jakarta, Manado, Ambon, Sorong, dan Palangkaraya.
Butuh lebih banyak kolaborasi antarpenyedia layanan kesehatan.
Menurut James, nilai investasi untuk setiap rumah sakit tersebut rata-rata berkisar Rp 300 miliar-Rp 400 miliar. Seluruh rumah sakit yang dikelola Siloam Hospitals Group itu diarahkan menjadi mitra BPJS sehingga menjangkau pasien dari berbagai kalangan.
”Diperlukan lebih banyak kolaborasi antarpenyedia layanan kesehatan agar sistem layanan kesehatan menjadi salah satu tulang punggung pembangunan nasional dan Indonesia bisa lebih bersaing,” ujar James.
Grup Lippo juga membuka rumah sakit dan fasilitas kesehatan di luar negeri, antara lain di Myanmar sebanyak 4 rumah sakit, Jepang 12 fasilitas kesehatan, serta Singapura 106 klinik kesehatan. Pihaknya sedang menjajaki ekspansi layanan kesehatan ke Vietnam dan Kamboja.
CEO/Deputy President Director Siloam Hospital Group Caroline Riady mengemukakan, pembangunan rumah sakit sangat ditentukan oleh kebutuhan daerah serta ketersediaan lahan, ketersediaan dokter dan perawat, serta dukungan komunitas dan pemda lokal.
Digitalisasi layanan
Caroline menambahkan, pengembangan sektor kesehatan berubah cepat. Tuntutan teknologi baru terus berkembang. Di tengah perubahan yang begitu cepat, sebagian pasien sangat mengandalkan rumah sakit dan asuransi dalam menentukan tindakan medis yang terbaik terhadap pasien. Untuk itu, pelayanan terhadap pasien perlu ditingkatkan.
Di sisi lain, era digital tak bisa dihindari. Pihaknya tengah mengembangkan sistem pendukung pelayanan kesehatan berbasis digital, di antaranya bekerja sama dengan aplikasi Ovo untuk mempromosikan pelayanan dan memudahkan sistem pembayaran.
Menurut James, era digital dan teknologi internet memungkinkan pasien mencari sendiri informasi terkait kesehatan dan penyembuhan penyakit. Dengan demikian, status rekam medis di tangan pasien. Untuk itu, penyedia layanan kesehatan perlu bertransformasi ke layanan berbasis digital.