Pengurangan Kemiskinan dan Ketimpangan Jadi Prioritas Pembangunan
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·4 menit baca
MANILA, KOMPAS — Bank Pembangunan Asia memprioritaskan 10 bidang dalam strategi jangka panjang yang baru, yakni Strategi 2030, yang akan dirilis pertengahan tahun ini. Salah satunya terkait pengurangan kemiskinan dan ketimpangan, dua problem yang masih jadi tantangan di kawasan Asia Pasifik, pusat gravitasi baru ekonomi global.
Presiden Bank Pembangunan Asia (ADB) Takehiko Nakao pada sesi pembukaan rapat Dewan Gubernur ADB di Manila, Filipina, Sabtu (5/5/2018), menyebutkan, 10 bidang akan jadi fokus sumber daya bank di bawah Strategi 2030. Strategi baru diharapkan menjawab tantangan yang ada dan sejalan dengan agenda pembangunan berkelanjutan dan kesepakatan tentang perubahan iklim.
”Wilayah ini mengalami transformasi. Setengah abad lalu, Asia adalah wilayah termiskin di dunia, tetapi pusat gravitasi ekonomi sedang bergeser ke Asia Pasifik, hampir semua negara berkembang anggota ADB telah maju ke status pendapatan menengah,” kata Nakao di hadapan delegasi yang menghadiri Pertemuan Tahunan Ke-51 Dewan Gubernur ADB.
Selain problem kemiskinan dan ketidaksetaraan, kawasan ini menghadapi problem meningkatnya tekanan lingkungan, urbanisasi yang cepat, serta tantangan terkait kependudukan. ”Sejumlah negara menua (rata-rata usia penduduknya), tetapi di negara lain populasi penduduk mudanya meningkat, situasi ini menghadirkan peluang dan tantangan,” ujarnya.
Selain mengurangi kemiskinan dan ketimpangan, bidang-bidang yang akan jadi prioritas dalam Strategi 2030 antara lain terkait kesetaraan jender, perubahan iklim, pembangunan perkotaan dan perdesaan, ketahanan pangan, tata pemerintahan, kerja sama dan integrasi regional, serta mobilisasi sumber daya sektor swasta terkait pembiayaan pembangunan.
ADB, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Program Pembangunan PBB (UNDP) dalam laporan ”Memberantas Kemiskinan dan Mempromosikan Kemakmuran di Asia Pasifik yang Berubah” tahun 2017 menyebutkan, sekitar 400 juta orang atau sekitar 10,3 persen populasi Asia Pasifik hidup dalam kemiskinan pendapatan yang ekstrem dalam kurun 2010-2013, yakni dengan ukuran pendapatan kurang dari 1,9 dollar AS per hari. Populasi penduduk sangat miskin di kawasan ini, meski turun dibandingkan periode 2000-2004 yang mencapai 65 persen, masih menyumbang sekitar 52 persen dari total penduduk sangat miskin di dunia pada 2010-2013.
Kesenjangan pendapatan antarnegara juga terus meningkat. Menurut laporan yang sama, lebih dari 50 persen orang yang sangat miskin hidup di Asia Pasifik pada tahun 2010-2013. Penduduk miskin di subkawasan Asia Selatan dan Selatan-Barat bahkan lebih dari 75 persen dari total penduduk miskin di kawasan. Sementara beberapa negara di pulau-pulau kecil di Pasifik masih tertinggal dan terbelakang.
Jaring sosial
Di Indonesia, data terkait ketimpangan menunjukkan perbaikan tiga tahun terakhir, meski sejumlah pihak masih menilainya relatif tinggi. Rasio gini, salah satu indikator kesenjangan pendapatan dan kekayaan, misalnya, turun dari 0,414 pada Maret 2014, lalu 0,397 pada Maret 2015, dan 0,393 pada Maret 2017. Rasio gini lahan juga turun dari 0,72 pada tahun 2003 menjadi 0,68 tahun 2013.
Akan tetapi, data lain menunjukkan ketimpangan yang masih tinggi. Laporan Distribusi Simpanan Bank Umum Lembaga Penjamin Simpanan, pada November 2017, sekitar 64 persen dari total Rp 5.279 triliun simpanan yang ada di perbankan Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen masyarakat terkaya. Data Global Wealth Databook Credit Suisse 2017, sebagaimana dikutip Megawati Institute dalam riset oligarki ekonomi 2017, menyebutkan, porsi kekayaan yang dikuasai 1 persen rumah tangga terkaya mencapai 45,4 persen pada tahun 2017.
Salah satu rekomendasi ekonom, sebagaimana diungkap dalam sejumlah sesi diskusi dan seminar pada rangkaian Pertemuan Tahunan Ke-51 Dewan Gubernur ADB di Manila, Kamis-Sabtu (3-5 Mei 2018), adalah pemerintah perlu menciptakan kebijakan yang adaptif, memperbaiki sistem pendidikan, serta memperkuat jaring pengaman sosial untuk mengoptimalkan teknologi baru. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang tengah dinikmati negara-negara di kawasan ini lebih inklusif.
Anggaran sejumlah program untuk memperkuat jaring pengaman sosial juga ditambah dari tahun ke tahun. Pada bantuan bersyarat melalui program keluarga sejahtera (PKH), misalnya, jumlah penerima ditambah dari 6 juta keluarga tahun 2017 menjadi 10 juta keluarga tahun 2018. Anggarannya pun terus ditambah dari Rp 5,6 triliun tahun 2015 menjadi Rp 17,2 triliun tahun 2018. Sementara sasaran bantuan pangan nontunai ditambah dari 44 kota dengan anggaran Rp 1,6 triliun tahun 2017 menjadi 98 kota dan 117 kabupaten dengan anggaran Rp 13,5 triliun pada 2018.
Selain penguatan jaring pengaman sosial dan perbaikan pendidikan, perkembangan teknologi diharapkan membantu mengatasi kesenjangan. Saat berbicara di seminar gubernur di salah satu sesi pertemuan tersebut, Sri Mulyani mencontohkan pemakaian aplikasi dan inovasi teknologi di Indonesia yang memungkinkan pengusaha kecil menengah dan masyarakat umum mengakses pasar dan lapangan kerja lebih luas.
Teknologi baru diharapkan jadi motor penggerak ekonomi lebih cepat di Asia Pasifik. ADB memperkirakan, pertumbuhan ekonomi di kawasan ini akan tetap tinggi, yakni 6 persen tahun ini dan 5,9 persen tahun depan, antara lain karena ditopang ekspor dan permintaan domestik yang kuat. Khusus di Indonesia, Filipina, dan Thailand, pertumbuhan ekonomi akan ditopang oleh investasi dan konsumsi domestik yang dinilai masih cukup kuat.
ADB yang berbasis di Manila, Filipina, didedikasikan untuk mengurangi kemiskinan di Asia Pasifik melalui pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkelanjutan secara lingkungan, dan terintegrasi secara regional. ADB didirikan tahun 1966 dan dimiliki oleh 67 negara anggota. Tahun 2017 lalu, operasi ADB mencapai 32,2 miliar dollar AS, termasuk 11,9 miliar dollar AS pendanaan bersama.