BI Wajibkan Penyelenggara Uang Elektronik ”Closed Loop” Mengajukan Izin
Oleh
Mediana
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia mewajibkan penyelenggara uang elektronik dengan sistem terbatas atau closed loop untuk mengajukan izin. Kewajiban ini berlaku bagi penyelenggara yang memiliki dana mengendap dan belum terpakai sebesar Rp 1 miliar atau lebih.
Ketentuan itu terdapat di dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 20/6/PBI/2018 yang diundangkan pada 4 Mei 2018. Segala isi PBI berlaku sejak diundangkan.
BI mempertimbangkan jumlah pengguna dan nilai dana float yang diperkirakan kian meningkat. Ditambah lagi kini sejumlah lembaga bukan bank mulai marak menerbitkan uang elektronik jenis itu. Misalnya, peritel mode, pengelola pusat perbelanjaan, pengusaha kedai kopi modern, dan bioskop.
”Kami berusaha mengakomodasi inovasi teknologi, termasuk perkembangan transaksi perdagangan secara elektronik atau e-dagang dan perusahaan rintisan bidang teknologi. Di samping itu, pengaturan uang elektronik closed loop bertujuan memastikan perlindungan konsumen terjamin,” ujar Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko, Senin (7/5/2018), di Jakarta.
Onny mengatakan, BI akan melakukan pengawasan secara berkala terhadap penyelenggara uang elektronik closed loop beserta dana float yang dimiliki.
Morgan Stanley dalam laporan Disruption Decode, Indonesia: Digital Disruption (April 2018) menyebutkan, penetrasi uang elektronik di Indonesia diperkirakan mencapai 2 persen pada 2018. Penetrasi diproyeksikan naik sampai lebih dari 24 persen pada akhir tahun 2027. Mayoritas penyelenggara uang elektronik di Indonesia justru berlatar belakang bukan bank.
Dilihat dari sisi laju pertumbuhan majemuk tahunan (CAGR), laporan Morgan Stanley itu menyebut transaksi uang elektronik naik 50 persen dalam lima tahun terakhir. Selama empat tahun mendatang, pertumbuhan transaksi uang elektronik di Indonesia diproyeksikan naik lima kali lipat.
Teknologi finansial pembayaran mampu mengakselerasi pertumbuhan transaksi nontunai atau cashless di Indonesia. Morgan Stanley menggambarkan, porsi transaksi nontunai pada 2013 sebesar 20,5 persen. Adapun tahun 2017, porsi transaksi nontunai telah meningkat menjadi 22,8 persen.