Monitor menunjukkan pergerakan harga saham, Selasa (24/4/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Tren pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat memberikan tekanan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan. Untuk terlepas dari tekanan, investor dan pelaku pasar menanti kebijakan jangka menengah-panjang untuk memperkuat posisi rupiah terhadap dollar AS.
Nilai tukar rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada Kamis (3/5/2018) sebesar Rp 13.965 per dollar AS. Posisi ini melemah dibandingkan sehari sebelumnya, yakni Rp 13.936 per dollar AS.
Berdasarkan data di laman Bank Indonesia, nilai tukar ini merupakan yang terlemah sejak 8 Oktober 2015. Pada 7 Oktober 2015, nilai tukar menyentuh Rp 14.065 per dollar AS.
Sementara itu, IHSG tidak mampu melanjutkan tren positif. Pada penutupan perdagangan kemarin, IHSG anjlok 153,51 poin atau 2,55 persen ke level 5.858,73. Padahal, pada penutupan Rabu (2/5), IHSG mencapai 6.012,24 atau menguat 0,29 persen.
Kemarin, kapitalisasi pasar saham di Bursa Efek Indonesia turun menjadi Rp 6.510 triliun. Kinerja seluruh sektor di bursa saham merah. Sejak awal tahun, IHSG merosot 7,82 persen.
Kepala Riset PT Koneksi Kapital Alfred Nainggolan mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berdampak negatif terhadap pergerakan IHSG. Tekanan terhadap rupiah membuat investor tidak percaya diri. Hal itu terbukti dengan pelemahan yang terjadi pada 10 sektor dalam IHSG.
Pelemahan terdalam terjadi pada dua sektor, yakni infrastruktur dan pertambangan yang turun lebih dari 3 persen.
”Kondisi ini sebenarnya reaksi berlebihan. Ketakutan investor terhadap tekanan dollar AS terhadap nilai tukar rupiah terlalu berlebihan. Padahal. The Fed (Bank Sentral AS) memastikan belum akan menaikkan suku bunga mereka bulan ini,” kata Alfred.
The Fed terakhir kali menaikkan suku bunga acuan pada Maret 2018 ke level 1,5-1,75 persen. Namun, para petinggi The Fed belum sepakat terkait ekspektasi kenaikan suku bunga acuan, yaitu sebanyak tiga kali atau empat kali tahun ini.
Pasar Asia
Hal ini menjadi perhatian utama pasar saham di Asia lantaran dikhawatirkan memicu dana asing keluar dari pasar modal. Bank Sentral Singapura dan Malaysia telah merespons situasi ini dengan menaikkan bunga acuan.
Alfred memperkirakan, koreksi IHSG hanya berlangsung dalam jangka pendek sampai dilakukan rilis pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2018. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada Januari-Maret 2018 akan menjadi penentu pergerakan IHSG selanjutnya.
Kepala Ekonom dan Riset Pasar UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menyebutkan, setiap tahun di bulan Mei, investor asing kerap menarik investasi mereka untuk menyesuaikan kembali alokasi portofolio sesuai tujuan investasi. ”Sepanjang periode ini biasanya akan terjadi pengurangan terhadap selera pasar para investor di pasar finansial baik global maupun regional,” ujarnya.
Enrico mengatakan, pasar saham Asia juga berada di bawah tekanan akibat kenaikan imbal hasil obligasi AS. Kondisi ini membuat indikator positif fundamen ekonomi Indonesia tidak terlalu menarik bagi para investor global yang ingin mendapatkan keuntungan investasi secara cepat.
Sementara itu, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, A Tony Prasetiantono menyatakan, IHSG sebenarnya sudah terlalu tinggi, pernah mencapai 6.600. Kini, indeks turun menjadi 5.858.
Hal ini, menurut Tony, mirip kejadian di bursa saham New York yang pernah mencapai mencapai 26.600 per 26 Januari 2018. Saat timbul gejolak kenaikan suku bunga The Fed, indeks langsung melemah menjadi 23.900.
”Jadi, IHSG tengah terkoreksi untuk mencari kesetimbangan yang lebih mencerminkan fundamentalnya,” katanya.