Obat Palsu: Pemblokiran Laman Distribusi Bukan Solusi Akhir
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemblokiran laman perdagangan secara elektronik bukan langkah terakhir pencegahan dan penanganan kasus pendistribusian obat palsu. Pemerintah perlu berani memutus mata rantai perendarannya.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Intelijen Obat dan Makanan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Wildan Sagi di sela-sela diskusi ”Industry Sharing of Best Practices in E-Commerce: Challenges and Solutions to Tackle Online Distribution of Counterfait Goods”, Senin (30/4/2018), di Jakarta.
"Kondisi geografis Indonesia menjadi tantangan tersendiri. Selundupan obat palsu dilakukan melalui \'jalan tikus\'. Pelaku bisa beriklan melalui platform daring karena suplai ataupun permintaannya ada di Indonesia," ujar dia.
Langkah memutus mata rantai peredaran dinilai solusi tepat. Selama ini, kasus hanya ditangani di hilir.
BPOM mengamati, tren pemalsuan obat bergeser dari obat-obat yang sering digunakan menuju obat-obatan khusus dan obat-obatan yang disalahgunakan untuk mendapatkan efek "rekreasi". Obat palsu tersebut diproduksi menyerupai wujud luar obat aslinya.
"Kemasan serta bentuk obat palsu susah dibedakan dengan wujud aslinya. Pendistribusiannya melalui platform daring, seperti media sosial dan toko daring. Pelakunya biasanya menggunakan jasa logistik ilegal," ungkap Wildan.
Dia menyebutkan, jumlah laman yang teridentifikasi mendistribusikan obat palsu mencapai 30 pada tahun 2011. Jumlahnya meningkat menjadi 370 laman pada 2017. Data ini telah dibawa ke Kementerian Komunikasi dan Informatika supaya mendapat tindak lanjut berupa blokir.
Untuk memutus mata rantai obat palsu, Wildan berharap masyarakat bisa terlibat. Ini dapat diawali kesadaran melaporkan temuan obat palsu.
Cara lain memutus mata rantai, kata Kasubdit Pengawasan Sarana Distribusi Obat, NPP, dan Bahan Obat Regional I BPOM, Mimin Jiwo Winanti adalah membuat regulasi yang mengatur pendistribusian obat melalui platform e-dagang. Regulasinya mencakup hulu-hilir, seperti kewajiban pendaftaran laman, produk obat di BPOM, dan cara pemasaran.
Pasalnya, masyarakat internasional melalui Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah mengatakan 50 persen obat-obatan yang diperdagangkan secara daring berpotensi sebagai produk palsu.
"Produk obat yang dijual secara daring tidak bisa dipastikan keamanannya. Kami juga kurang setuju dengan model pengantaran obat melalui mitra pengemudi perusahaan aplikasi transportasi umum. Tanggung jawab pengawasan model perdagangan ini lemah," ujar Mimin.
Sepanjang tahun 2017, BPOM telah merekomendasikan penutupan 177 laman promosi obat dan NAPZA tidak memenuhi ketentuan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sebanyak 148 di antaranya sudah ditindaklanjuti.
Selama waktu berjalan tahun 2018, BPOM telah merekomendasikan penutupan 230 laman promosi obat dan NAPZA tidak memenuhi ketentuan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sebanyak 158 di antaranya telah ditindaklanjuti.
Dirjen Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, penyusunan regulasi khusus harus dilakukan lintas kementerian dan lembaga. Pihaknya mengatur sertifikasi digital penjualan daring, sedangkan BPOM menyiapkan regulasi toko obat daring yang bersertifikat. (MEDIANA)