Rupiah!
Tahun depan rupiah sudah berumur 70 tahun. Usia yang sangat matang untuk mata uang yang resmi dipakai secara nasional menggantikan Oeang Republik Indonesia (ORI) pada 2 November 1949.
Sejak resmi dipakai empat tahun setelah Indonesia merdeka, rupiah yang berasal dari bahasa Sansekerta rupya (koin perak) itu mengalami jatuh-bangun. Rupiah pernah diperdagangkan di pasar gelap. Rupiah pernah mencari pengakuan dunia. Rupiah juga pernah mengalami pelemahan tertinggi, yaitu Rp 16.800 per dollar AS pada saat krisis ekonomi 1998.
Rupiah akan terus menghadapi tantangan. Kematangannya terus diuji, terutama menghadapi ketidakpastian global. Pada April tahun ini, rupiah hampir menyentuh Rp 14.000 per dollar AS. Rupiah melemah karena karena penguatan dollar AS terhadap hampir semua mata uang dunia. Penguatan dollar AS itu merupakan dampak dari kenaikan treasuri Amerika Serikat yang berlanjut atau suku bunga obligasi AS sampai 3,03 persen. Angka ini tertinggi sejak 2013.
Selain itu, ada faktor musiman yang menyebabkan rupiah terdepresiasi. Pada triwulan II-2018, permintaan valuta asing (valas) meningkat untuk membayar utang luar negeri, dividen, dan membiayai impor. Menjelang Ramadhan dan Lebaran, impor barang modal, bahan baku, dan konsumsi cukup tinggi. Menurut catatan Badan Pusat Statistik, total nilai impor Januari–Maret 2018 mencapai 44 miliar dollar AS atau naik 20,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Impor barang modal naik 27,7 persen, bahan baku/penolong 18,3 persen, dan barang konsumsi 22,1 persen.
Bank Indonesia (BI) berupaya terus hadir di pasar menjaga stabilitas rupiah. Pengendalian nilai tukar rupiah itu dilakukan menggunakan cadangan devisa. Namun, cadangan devisa juga digunakan untuk membayar utang luar negeri, dividen, dan impor, sehingga jumlahnya berkurang. Menurut data BI, cadangan devisa per akhir Maret 2018 sebesar 126 miliar dollar AS atau berkurang 2,06 miliar dollar AS dalam sebulan. Sejak awal Februari 2018, cadangan devisa Indonesia telah tergerus 5,98 miliar dollar AS.
Kendati demikian, BI menyebutkan depresiasi rupiah masih terkendali karena fundamen ekonomi domestik kuat. Pelemahan rupiah tidak akan mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional. Pada 1-26 April 2018, rupiah terdepresiasi 0,88 persen terhadap dollar AS. Sementara, baht Thailand terdepresiasi 1,12 persen, ringgit Malaysia 1,24 persen, dolar Singapura 1,17 persen, won Korea Selatan 1,38 persen, dan rupee India 2,4 persen.
Untuk pertahanan lapis kedua, BI bekerja sama terkait nilai tukar dengan sejumlah negara melalui Bilateral Swap Agreement (BSA) dan Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA). Yang sudah berjalan saat ini adalah kerja sama dengan Jepang senilai 22,7 miliar dollar AS, serta sejumlah negara di ASEAN, Korea, dan Australia, serta dengan China melalui Chiang Mai Initiative Multilateralization Agreement. Tujuannya, meningkatkan perdagangan dan investasi langsung antar kedua negara dan membantu penyediaan likuiditas jangka pendek bagi stabilisasi pasar keuangan.
Di tengah ketidakpastian global, upaya bersama menjaga stabilitas rupiah sangat diperlukan. Pelaku usaha yang memiliki kewajiban valas, namun belum melakukan lindung nilai, perlu segera melakukannya. Apalagi, Otoritas Jasa Keuangan telah membebaskan biaya agunan kas sebesar 10 persen dari nilai nasional transaksi bagi pelaku usaha yang melakukan transaksi produk tesstruktur tertentu selama memenuhi sejumlah syarat. Dengan ketentuan itu, pelaku usaha yang akan melakukan lindung nilai tidak terbebani biaya agunan.
Selain itu, importir yang mengimpor barang juga dapat mengunakan mata uang lokal masing-masing negara, terutama Malaysia dan Thailand. Untuk bertransaksi di dalam negeri, pelaku usaha wajib menggunakan rupiah sesuai ketentuan BI.
Akan tetapi, berbagai upaya konkret itu juga perlu ditopang penguatan cadangan devisa. Dua sektor unggulan Indonesia untuk meraup devisa adalah ekspor dan pariwisata. Peningkatan ekspor perlu memadukan antara membuka pasar baru dan memperkuat industri berbasis ekspor. Selama ini, pasar ekspor baru terus dibuka secara bertahap. Namun, dari sisi pengembangan industri berbasis ekspor masih lambat.
Padahal, mengutip Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pelemahan rupiah dapat dimanfaatkan untuk mendukung laju ekspor. Peluang ini dapat dimanfaatkan seiring peningkatan kondisi perekonomian global dan permintaan dari negara-negara maju.
Adapun di sektor pariwisata, Indonesia terus mempromosikan tujuan wisata baru, yang kerap disebut sebagai "Bali baru". Masyarakat yang mengelola pariwisata secara mandiri giat berpromosi melalui laman dan media sosial, sehingga wisata-wisata alternatif mulai banyak dikenal wisatawan.