JAKARTA, KOMPAS Sampai dengan 27 April 2018, Kementerian Keuangan telah mentransfer dana desa ke kabupaten dan kota sebesar Rp 14,12 triliun. Namun, sebagian besar belum diteruskan ke desa akibat persyaratan administrasi yang belum dipenuhi.
Alokasi dana desa tahun ini sebesar Rp 60 triliun atau sama dengan tahun lalu. Penyalurannya dilakukan tiga tahap. Tahap pertama, 20 persen dari pagu atau Rp 12 triliun, yang disalurkan paling cepat Januari dan paling lambat minggu ketiga Juni 2018.
Tahap kedua sebesar 40 persen dari pagu atau Rp 24 triliun, yang disalurkan paling cepat Maret dan paling lambat minggu keempat Juni. Adapun tahap ketiga adalah 40 persen atau Rp 24 triliun, yang disalurkan paling cepat Juli 2018.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Boediarso Teguh Widodo, di Jakarta, Minggu (29/04/2018), menyatakan, realisasi penyaluran dana desa dari pusat ke daerah per 27 April mencapai Rp 14,12 triliun. Jumlah itu sekitar 23,53 persen dari total pagu dana desa.
Berdasarkan aplikasi pemantau transaksi keuangan negara berbasis teknologi informasi, menurut Boediarso, baru Rp 3,2 triliun di antaranya yang telah disalurkan ke 19.092 desa di 174 daerah. Artinya, dana desa senilai Rp 10,92 triliun sisanya -yang telah diterima kabupaten dan kota- belum disalurkan ke 51.862 desa di 242 daerah.
Kendalanya, desa belum menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Padahal, hal ini merupakan syarat penyaluran dana desa dari pemerintah daerah ke desa.
Pada saat yang sama, ada juga desa-desa yang belum menerima dana desa tahap I karena dananya memang belum disalurkan dari pusat ke daerah. Jumlahnya mencapai 3.984 desa di 18 daerah senilai Rp 640 miliar.
Penyebabnya, pemerintah daerah belum memenuhi persyaratan berupa penetapan peraturan daerah tentang APBD dan/atau peraturan kepala daerah tentang rincian dana desa setiap desa.
Dari 18 daerah yang belum menerima penyaluran dana desa tahap I tersebut, lanjut Boediarso, sembilan pemerintah daerah telah memenuhi persyaratan penyaluran dan sedang menunggu proses penyaluran. Sementara, sembilan pemda lainnya belum memenuhi persyaratan penyampaian laporan.
Realisasi penyaluran dana desa tahun 2018 per 27 April senilai Rp 14,12 triliun tersebut mencakup realisasi tahap I dan tahap II. Realisasi tahap I Rp 11,36 triliun kepada 70.774 desa di 416 daerah. Adapun realisasi tahap II senilai Rp 2,76 triliun kepada 8.603 desa di 63 daerah.
Realisasi tersebut lebih besar ketimbang periode yang sama pada 2016, tetapi lebih kecil ketimbang 2017.
Per 27 April 2016, realisasinya Rp 10,7 triliun atau 22,77 persen dari pagu total dana desa. Sementara, per 27 April 2017, realisasi dana desa lebih besar, yakni Rp 16,8 triliun atau 28 persen dari total pagu.
Kepentingan politik
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, menyatakan, tersendatnya penyaluran dana desa di tingkat kabupaten dan kota tidak saja disebabkan persoalan administrasi atau teknis. Namun, hal itu juga terkait kepentingan politik menjelang pemilihan kepala daerah.
”Fakta di lapangan menunjukkan, faktor politis sangat kental. Ini tidak sekadar persoalan administrasi, tetapi juga pertimbangan politik. Diakui atau tidak diakui, ini sangat terasa di lapangan. Tersendatnya dana desa di tingkat kabupaten dan kota adalah gabungan masalah administrasi dan politik,” kata Endi.
Tersendatnya dana desa di tingkat kabupaten dan kota adalah gabungan masalah administrasi dan politik
Sementara, terkait kebijakan program padat karya nontunai yang bagus, menurut Endi, perlu pendampingan di lapangan. Alasannya, banyak aparat desa menemui kendala teknis dan administrasi.
Pemerintah mulai tahun ini mencanangkan program padat karya nontunai. Sebanyak 30 persen dana desa harus dialokasikan untuk upah warga desa yang mengerjakan proyek. Untuk itu, program harus bersifat swakelola.
Aturan lama menyebutkan, hanya proyek dengan nilai investasi maksimal Rp 200 juta yang bisa diswakelolakan. Sementara, untuk proyek dengan nilai di atas Rp 200 juta, harus melalui lelang.
Dalam rangka mendorong program padat karya nontunai, pemerintah melalui surat keputusan bersama empat menteri merevisi aturan tersebut. Revisi itu, pada intinya, desa bisa memperlakukan proyek di desa yang nilainya di atas Rp 200 juta dengan model swakelola.
”Pada tataran teknsi dan administrasi, ini tidak mudah dilakukan. Aparat desa perlu pendampingan,” kata Endi.