ILO: Keselamatan Pekerja Muda Lebih Rentan
JAKARTA, KOMPAS - Kesadaran keselamatan dan kesehatan kerja perlu ditanamkan sejak dini kepada generasi muda. Dengan demikian, saat mereka memasuki dunia kerja, mereka sudah memahami bahaya serta risiko bekerja di setiap industri.
Spesialis Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Geneva, Manal Azzi, berpendapatan, pekerja muda seringkali belum memahami bahaya dan risiko kerja di sektor industri di mana mereka bekerja.
Pekerja muda yang dimaksud ILO adalah mereka berusia 15-24 tahun. Dengan kata lain, orang-orang uang berada pada usia setelah mengakhiri wajib belajar dan memulai pengalaman kerja pertama.
Kalaupun mereka sudah sadar, tingkat pemahaman mereka tentang K3 seringkali terbatas pada bahaya dan risiko bersifat fisik. Misalnya, bahaya kecelakaan dan kebakaran di lokasi bekerja.
"Risiko dan bahaya dalam diri sendiri kurang disadari. Untuk mengatasinya, mereka belum berpengalaman. Apalagi emosi mereka masih labil dan mereka belum bisa menyampaikan kebutuhan mereka kepada atasan," ujar Manal yang ditemui di Festival K3, Sabtu (28/4/2018), di Gedung Kerta Niaga, Kawasan Kota Tua Jakarta.
ILO membedakan bahaya pekerjaan dan faktor risiko khusus untuk pekerja muda. Bahaya pekerjaan terdiri dari keselamatan, fisik, biologi, limita, ergonomi, dan psikologi. Adapun faktor risiko mencakup perkembangan fisik, psikososial dan emotional, ketrampilan dan pengalaman kerja, pendidikan, dan lintas sektoral.
"Setiap tanggal 28 April seluruh dunia memperingati hari K3. Kesadaran maupun penanganan kasus K3 selalu menjadi isu publik. Namun, kami melihat belum semua kalangan mengikutsertakan pekerja muda dalam pelaksanaan kebijakan K3," tutur Manal.
Dia menjelaskan, ILO berharap pemerintah Indonesia bisa mensosialisasikan kesadaran K3 kepada pekerja muda sejak dini. Misalnya, pemerintah memasukkan pengetahuan K3 ke dalam kurikulum pendidikan.
Dalam laporan "Meningkatkan Keselamatan dan Kesehatan Pekerja Muda (2018)", ILO menyebut pekerja muda cenderung memiliki ketrampilan, pengalaman kerja dan daya tawar terbatas. Akibatnya, mereka pun kerap dipekerjakan pada level pemula, bidang yang tidak diinginkan, bekerja dengan upah rendah dan rentan, serta jam kerja berlebihan.
Pekerja muda cenderung sering berganti pekerjaan. Dampaknya adalah mereka jarang mempunyai waktu ataupun kesempatan membiasakan diri dengan aturan K3.
Secara global, 541 juta pekerja muda berusia 15-24 tahun dan menyumbang 15 persen dari total angkatan kerja dunia. Mereka mengalami lebih dari 40 persen cedera kerja nonfatal dibandingkan pekerja berusia di atas 24 tahun.
ILO memetakan sektor industri yang di dalamnya terdapat pekerja muda beserta tingkat bahaya dan risiko K3 lainnya. Sektor industri yang dimaksud adalah pertanian, manufaktur, konstruksi, penambangan dan galian, jasa, penjamuan, serta layanan kesehatan dan sosial.
Pertama, sektor pertanian. Di seluruh dunia, sekitar 49,3 persen anak muda usia 15 - 17 tahun sedang bekerja di sektor pertanian. Pekerja pertanian dihadapkan berbagai potensi bahaya , antara lain paparan zat organik terus-menerus, cuaca ekstrim, dan angkat beban berat.
Sektor konstruksi menarik semakin banyak pekerja muda di negara berkembang, seperti Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Tugas yang dibebankan mengandung bahaya cukup tinggi, antara lain lingkungan kerja berdebu, rantai kontrak panjang, dan bekerja di ketinggian.
Sektor jasa juga sekarang sedang mempekerjakan semakin banyak pekerja muda di seluruh dunia. Karakteristik utama dari sektor ini adalah interaksi yang sering dengan pelanggan, klien, dan pasien. Karakteristik ini meningkatkan kemungkinan pekerja terkena bahaya psikososial, termasuk pelecehan verbal, kekerasan seksual, dan ancaman.
Penduduk muda
Program Officer ILO di Indonesia, Lusiani Julia, mengatakan, beberapa negara berkembang tengah mengalami pertumbuhan penduduk muda. Situasi ini berbeda dengan negara maju yang justru mengarah ke populasi penduduk tua.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menjadi salah satu negara yang sekarang memiliki pertumbuhan penduduk muda. Dia menggambarkan, hampir setengah atau 60 juta dari 128,06 juta orang angkatan kerja di Indonesia berusia di bawah 30 tahun. Dari sekitar 60 juta itu, sekitar 20 persen di antaranya berumur 15-24 tahun.
Tren yang kini terjadi adalah orang semakin cepat masuk dunia bekerja. Ini dipengaruhi berbagai faktor, misalnya kebijakan pendidikan vokasional yang sekarang gencar diserukan pemerintah.
"Anak didorong masuk sekolah kejuruan, lulus langsung bekerja. Secara fisik, mereka memang sudah siap masuk dunia kerja. Akan tetapi, psikologis mereka masih belum matang," ujar Lusiani.
Tren teknologi digital membentuk pola baru ketenagakerjaan, seperti pekerja lepas dan kemitraan. Hal itu juga melahirkan potensi bahaya serta risiko keselamatan dan kesehatan kerja yang baru.
Lusiani mencontohkan, bekerja dalam kurun waktu lama menggunakan komputer dan dilakukan di mana saja. Sebagian besar pekerja muda sekarang cenderung menyukai model bekerja seperti itu, tanpa diikuti kesadaran risiko kesehatan di balik cara kerja tersebut.
Pada tahun 2017, data ILO menyebutkan, sekitar 78,7 persen pekerja berusia 15-29 tahun di dunia bekerja di sektor informal. Mereka lebih rentan terhadap kecelakan dan penyakit akibat kerja.
Pada saat bersamaan, Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri berpandangan, teknologi digital melahirkan sejumlah profesi baru. Sikap pemerintah adalah menyiapkan tenaga kerja yang terampil, berkompeten, dan memiliki keahlian, sehingga cepat beradaptasi dengan perubahan. Keputusan ini dianggap sebagai bentuk perlindungan yang tepat.
"Perlindungan terbaik yaitu membekali generasi muda dengan keahlian dan ketrampilan. Tujuannya agar mereka bisa terus bekerja," kata dia.
Hanif menyebut kemitraan sebagai sistem baru di pasar kerja. Hal ini terjadi antara pengemudi mitra dengan perusahaan aplikasi transportasi umum. Untuk menyikapinya, pemerintah sedang mengkaji kebijakan yang tepat.
Dia menambahkan, tugas negara adalah menyusun kebijakan K3 sesuai dengan konteks industri serta profesi yang berkaitan.
Khusus peraturan K3 setingkat peraturan menteri, Indonesia mempunyai sekitar 26 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan. Sebagai contoh, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 1980 tentang Keselamatan Kerja Pada Konstruksi Bangunan.
Berdasarkan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, tahun 2015 tercatat kecelakaan kerja sebanyak 110.285 kasus, sedangkan tahun 2016 sejumlah 105.182 kasus. Adapun sampai Agustus tahun 2017 terdapat sebanyak 80.392 kasus.