Sejumlah indikator kemiskinan di Indonesia membaik mulai dari tingkat kemiskinan yang terus turun hingga makin banyaknya program afirmatif dan jaring pengaman sosial bagi mereka. Namun, di lapangan, ada saja data yang tercecer, seperti sebagian masyarakat di sejumlah wilayah yang tetap lekat dengan kemiskinan.
Jila Pluriana (35), warga Rungan, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, terpaksa menjadi pemulung di Kota Palangkaraya karena suaminya sakit-sakitan. Sepetak tanah di Gunung Mas terpaksa dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pindah ke Palangkaraya di kebun warisan ayah suaminya. Ia tinggal di sebuah rumah panggung di sekitar Jalan Badak, Kota Palangkaraya.
Dari pagi hingga sore, ia mengais tempat sampah di sekitar Jalan Badak sampai ke Hiu Putih yang berjarak sekitar 5 kilometer.
”Saya dan keluarga tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah di Kabupaten Gunung Mas atau Palangkaraya. Belum pernah ada petugas pendata yang datang ke rumah. Anak saya yang sulung bisa sekolah di Kapuas karena dibiayai oleh saudara suami saya di sana,” ujar Jila.
Berbeda dengan Jila, Riyadi Suan (41), warga Flamboyan, Kota Palangkaraya, pernah mendapatkan perlindungan dari Program Keluarga Harapan. ”Uang kami pakai untuk belanja kebutuhan atau nambah-nambah usaha tambak ikan,” kata Suan.
Suan mengaku, sebagai keluarga penerima manfaat, pada tahap pertama, ia mendapatkan Rp 500.000.
Sementara keluarga M Jufri (39) dan Asriani (38) merupakan satu dari 46 keluarga miskin di Desa Sidera, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Pendapatan mereka Rp 1 juta per bulan dari berbagai usaha, mulai dari penjualan cabai ataupun jagung, warung kecil di pinggir jalan, hingga menjadi buruh.
”Pengeluaran kami Rp 350.000-Rp 400.000 per bulan untuk beli beras dan lauk. Sisanya untuk jaga-jaga, termasuk pendidikan anak-anak nanti,” ujar Asriani saat ditemui di Sigi, akhir bulan lalu.
Jufri dan Asriani mengolah lahan seluas hampir 1 hektar untuk ditanami cabai atau jagung. Namun, tanah itu bukan milik mereka, melainkan milik anggota keluarga Asriani. ”Tidak semua tanaman bisa dipanen karena sering kena hama. Biaya perawatan tanaman tidak terpenuhi semua,” ujar Jufri.
Untuk menambah penghasilan keluarga, sejak dua tahun lalu Asriani membuka usaha warung makan di pinggir jalan tak jauh dari rumahnya. Setiap hari, dia bisa mengantongi pendapatan kotor Rp 300.000 dari usaha tersebut.
Keluarga Jufri tinggal di rumah berukuran 5 meter x 7 meter. Sebagian besar dinding rumah terbuat dari papan tipis. Hanya dinding bagian depan rumah yang terbuat dari batu bata. Lantai rumah berupa lapisan semen yang banyak retak.
Bagian utama rumah tersebut beratap seng. Dapur beratap anyaman daun sagu. Papan-papan di dinding dapur itu mulai lapuk. Rumah tersebut dibangun di tanah yang dipercayakan kepada mereka untuk diolah. Letaknya sekitar 50 meter dari jalan raya, melewati kebun kakao pemilik tanah.
Keluarga Jufri menerima bantuan dari pemerintah pusat berupa beras sejahtera dan Program Keluarga Harapan. Jufri mengaku bantuan tersebut cukup membantu ekonomi keluarganya.
Mengandalkan bantuan
Di Jakarta, Daimah (45) belum bisa keluar dari kemiskinan. Ibu rumah tangga di perkampungan RT 011 RW 016, Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, itu mengandalkan bantuan pemerintah untuk menopang hidup keluarganya.
Selama 18 tahun menetap di Jakarta, kehidupan Daimah dan suaminya tak kunjung beranjak baik. Penghasilan hanya bergantung dari usaha berdagang kelapa muda suami Daimah. Setiap bulan, penghasilan sang suami tak lebih dari Rp 1,5 juta. Uang tersebut sebagian besar habis untuk membayar sewa rumah kontrakan mereka sebesar Rp 800.000 setiap bulan.
Rumah berlantai dua berukuran 20 meter persegi itu terasa pengap. Cat tembok mulai terkelupas. Pintu masuk rumah berhadapan langsung dengan ruang tamu sekaligus dapur. Untuk tidur, Daimah menggunakan ruangan di lantai dua. Ruangan itu berlantaikan papan kayu.
Daimah menceritakan, dua anaknya kini telah menikah dan mengontrak rumah di Cengkareng, Jakarta Barat. Keuangan keluarga yang tak kunjung membaik membuat Daimah merelakan anak-anaknya tak melanjutkan sekolah. Dua anak Daimah hanya mengenyam pendidikan terakhir hingga tingkat SMP.
Selepas SMP, mereka memilih tidak melanjutkan pendidikan, tetapi bekerja. Walau kedua anak Daimah telah menikah, penghasilan mereka terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga masing-masing. Karena itu, tak jarang mereka masih mengandalkan bantuan dari Daimah.
Anak bungsu Daimah kini duduk di bangku sekolah dasar. Ia cukup beruntung karena Daimah mendapatkan bantuan program Kartu Jakarta Pintar dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
”Kalau tidak ada bantuan pemerintah, mungkin penghasilan suami saya tidak akan cukup untuk menyekolahkan anak bungsu saya,” katanya saat ditemui di kediamannya, Senin (9/4/2018).