JAKARTA, KOMPAS - Indonesia harus memanfaatkan momentum, pasar, dan talenta agar mampu menjadi pemain penting di era industri 4.0. Bonus demografi harus dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
"Jerman beberapa tahun lalu mulai membikin Industrie 4.0. India mengampanyekan Make in India. Di ASEAN ada Thailand 4.0. Kita meluncurkan Making Indonesia 4.0," kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Kamis (26/4/2018).
Airlangga menyampaikan hal tersebut dalam kuliah umum bertajuk "Membangun Republik : Visi Indonesia 2030-2045". Pada serial kuliah yang digelar PARA Syndicate tersebut, Airlangga memaparkan Revolusi Industri 4.0 Menuju Kepemimpinan Indonesia Masa Depan.
Airlangga menuturkan, revolusi industri berjalan seiring atau paralel di Indonesia tanpa meninggalkan industri pada tahap sebelumnya. "Contohnya, alat tenun bukan mesin yang dikenal dunia sejak tahun 1700-an pun sampai hari ini masih ada di Indonesia dan itu tetap kami dorong," katanya.
Revolusi industri mengarah pada peningkatan efisiensi dan produktivitas. Ekonomi digital dan era industri 4.0 tidak akan berjalan tanpa inovasi. Pemerintah sedang menggodok insentif bagi industri yang melakukan kegiatan riset dan pengembangan.
Airlangga menambahkan, demografi Indonesia ada di 10 tahun mendatang. Merujuk pengalaman negara-negara maju seperti Jepang, China, dan Singapura, pertumbuhan ekonomi mereka tinggi saat memiliki bonus demografi.
"Tujuan kita di tahun 2030 adalah menjadi 10 besar negara di dunia, menciptakan tambahan 10 juta tenaga kerja, dan melipatgandakan produktivitas. Dengan demikian, ekonomi akan kuat dan akan menghindarkan diri dari jebakan pendapatan menengah," kata Airlangga.
Kesenjangan
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai reformasi sumber daya manusia sangat penting untuk mengatasi kesenjangan ekonomi, terutama menghadapi era industri 4.0. Upaya tersebut dibutuhkan agar jangan sampai bonus demografi malah menjadi beban demografi.
"Dampak gelombang perubahan harus diantisipasi mengingat jumlah tenaga kerja yang besar, yaitu 130 juta orang lebih," kata Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani.
Reformasi sumber daya manusia ini diangkat dalam Musyawarah Nasional Apindo X. Kondisi mayoritas tenaga kerja yang berpendidikan rendah -setingkat sekolah menengah pertama ke bawah- menjadi tantangan besar.
Pendekatan regulasi tenaga kerja secara konvensional dinilai hanya mempersulit penciptaan lapangan kerja bagi tenaga kerja dengan ketrampilan terbatas.
Menurut Hariyadi, Apindo, serikat pekerja, dan pemerintah perlu segera duduk bersama mempersiapkan amandemen UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk mengatasi perubahan-perubahan tersebut.