Rupiah Terus Melemah, Pengusaha Elektronik Terpaksa Naikkan Harga
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat berada di titik terlemah sejak awal tahun. Pengusaha terpaksa meningkatkan harga jual produk mereka meski menyadari daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih dari perlambatan pertumbuhan konsumsi tahun lalu.
Pada Selasa (24/4/2018), menurut Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, nilai tukar rupiah tercatat Rp 13.900 per dollar AS.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Ali Subroto mengatakan, melemahnya nilai tukar rupiah berdampak naiknya ongkos impor komponen. Selain itu, kata dia, dengan naiknya komponen elektronik, otomatis harga jual produk elektronik pun akan ikut naik.
”Kalau rupiah melemah atau dollar AS menguat, cost-nya naik, baik yang diimpor maupun produksi dalam negeri, dan otomatis harga jual harus dinaikkan,” kata Ali saat dihubungi Kompas.
Dia mengungkapkan, antusiasme masyarakat dalam berbelanja barang elektronik mulai mengalami kelesuan sejak triwulan pertama 2018 akibat pertumbuhan industri elektronik tercatat turun sejak awal tahun.
Kenaikan ongkos impor komponen, kata Ali, berdampak negatif bagi industri. Pasalnya, pelaku industri membutuhkan waktu untuk mencapai titik keseimbangan dengan harga baru ataupun model baru setelah menghitung kerugian selama menuju titik ekuilibrium atau keseimbangan baru.
Ekuilibrium adalah adalah kondisi di mana harga barang terbentuk pada titik pertemuan kurva permintaan dengan kurva penawaran yang merupakan hasil kesepakatan antara pembeli dan penjual.
”Menaikkan harga produk menjadi jalan satu-satunya jalan meski daya beli masyarakat juga turun. Dampaknya terhadap industri maupun importir barang elektronika menjadi negatif. Akan butuh waktu yang lebih lama dari biasanya untuk mencapai ekuilibrium baru,” ujarnya.
Ali memastikan setiap pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terjadi pengusaha elektronik akan menghitung kerugian. Pelaku yang justru diuntungkan dalam kenaikan dollar AS adalah pelaku ekspor komoditas sumber daya alam karena menggunakan harga jualnya dollar AS.
”Setiap terjadi pelemahan rupiah, maka pelaku bisnis selalu pusing menghitung kerugian. Yang menikmati hanya mereka yang mengekspor sumber daya alam, menggunakan rupiah untuk biaya produksi dan memakai dollar AS untuk harga jual,” kata Ali.
Dihubungi terpisah, analis Binaartha Sekuritas, Reza Priyambada, menjelaskan, pelemahan rupiah tak dapat dilepaskan dari sentimen eksternal. Selain perkiraan kenaikan tingka suku bunga acuan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed), ekspektasi kenaikan tingkat suku bunga acuan oleh Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE).
”Akibatnya, laju rupiah cenderung terkena dampak negatifnya hingga menyentuh batas psikologisnya. Capital outflow (arus keluar dana asing) akan terjadi seiring perbaikan ekonomi AS turut melemahkan rupiah,” ujar Reza.
Nilai tukar rupiah terus terdesak dengan penguatan nilai tukar mata uang utama dunia, seperti dollar AS, euro, dan poundsterling. Di sisi lain, menurut Reza, sentimen positif dari dalam negeri yang dapat mengangkat laju rupiah secara signifikan cenderung minim.
”Peluang pelemahan rupiah juga masih terjadi seiring meningkatnya laju dollar AS. Maka, tetap cermati dan waspada terhadap sentimen yang membuat laju rupiah kembali tertahan kenaikannya,” ujarnya.
Tidak hanya rupiah, kata Reza, mata uang negara-negara di kawasan Asia pun mengalami pelemahan terhadap mata uang utama dunia, mulai dari dollar Singapura, baht Thailand, peso Filipina, rupee India, won Korea Selatan, yuan China, hingga yen Jepang.
Selain kenaikan suku bunga acuan The Fed, ujar Reza, apresiasi terhadap dollar AS juga didukung oleh meredanya tensi geopolitik serta tingginya imbal hasil obligasi AS. Kondisi itu mendorong dana modal asing ditarik dari negara-negara berkembang menuju AS.