JAKARTA, KOMPAS - Peluang pasar sawit ke Uni Eropa masih terbuka. Selama ini, Uni Eropa tidak pernah menghambat perdagangan dan mendiskriminasikan sawit dari Indonesia. Karena itu, Indonesia perlu terus mengembangkan sawit secara berkelanjutan.
Duta Besar Uni Eropa (UE) untuk Indonesia Vincent Guerend mengatakan hal itu ketika berkunjung ke Redaksi Kompas di Jakarta, Jumat (20/4/2018). Guerend menjelaskan tentang perubahan Arahan Energi Terbarukan UE. Pada 2050, semua negara di wilayah UE akan menggunakan 100 persen sumber energi terbarukan. Menurut Guerend, pemungutan suara di Parlemen Eropa merupakan proses legislatif biasa. Hingga saat ini, proposal yang disetujui Parlemen Eropa itu masih belum final dan masih diperdebatkan.
Dalam Resolusi UE itu, Parlemen Eropa telah menentukan sawit berdampak besar terhadap emisi rumah kaca. Namun, dalam pembahasan nanti, diupayakan mencapai kesepakatan yang bersifat nondiskriminatif. ”Kami juga telah menjelaskan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai hal itu. Kami tidak melanggar ketentuan WTO. Kami tidak menghambat perdagangan dengan menaikkan tarif, tidak mendiskriminasi, apalagi melarang perdagangan produk sawit,” katanya.
Arahan Energi Terbarukan itu merupakan salah satu upaya UE mengatasi perubahan iklim. UE tidak ingin terjadi deforestasi di negara-negara mitra UE. Untuk itu, sawit yang dinilai sebagai penyumbang emisi rumah kaca dikelola secara berkelanjutan.
Memang Indonesia telah menerapkan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Namun, jumlah sawit yang bersertifikat itu baru 20 persen dari total produksi sawit Indonesia. ”Selain itu, Indonesia berencana untuk meningkatkan produksi sawit. Namun, UE berharap agar peningkatan produktivitas itu melalui intensifikasi lahan dan menjaga kelestarian keragaman hayati,” ujarnya.
Produk perikanan
Sementara itu, bea masuk produk perikanan yang tinggi ke UE menjadi salah satu pemicu penurunan daya saing ekspor Indonesia ke pasar Eropa. Hingga saat ini, terdapat 28 jenis komoditas perikanan asal Indonesia yang dikenakan tarif masuk ke UE. Udang dikenai bea masuk 5-7 persen; tuna, tongkol, dan cakalang dikenakan 8,46-20,55 persen; cumi, sotong, dan gurita di kisaran 2,75-7 persen.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengemukakan, pihaknya berupaya untuk memperjuangkan bebas tarif masuk komoditas perikanan ke UE. Namun, hal itu membutuhkan dukungan kementerian terkait, seperti Kementerian Perdagangan.
Menurut Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Kelautan dan Perikanan KKP Nilanto Perbowo, penghapusan tarif masuk produk perikanan oleh UE akan kembali dibahas
dalam rangkaian Sea Food Expo Global di Brussels, Belgia, 24-26 April.
Tingginya bea masuk ekspor perikanan antara lain disebabkan skema perdagangan yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor. Faktor lainnya, praktik perikanan ilegal, pemberian subsidi untuk industri, dan masuknya Indonesia dalam kelompok G-20.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia Budhi Wibowo mengatakan, negara-negara di Eropa memiliki pilihan produk perikanan dari negara produsen yang dikenakan bebas tarif impor. (HEN/LKT)