JAKARTA, KOMPAS — Investasi Indonesia diproyeksikan akan meningkat pasca-lembaga pemeringkat Moody’s Investor Service menaikkan peringkat utang Indonesia di atas Investment Grade. Meskipun begitu, Indonesia tetap perlu berhati-hati mengelola utang, terutama utang badan usaha milik negara.
Pada 13 April 2018, Moody’s menaikkan peringkat Sovereign Credit Rating (SCR) Indonesia dari Baa3/Outlook Positif menjadi Baa2/Outlook Stabil. Sebelumnya pada 8 Februari 2017, Moody’s memperbaiki Outlook SCR Indonesia dari Stabil menjadi Positif sekaligus mengafirmasi rating pada Baa3 (Investment Grade).
Moody’s juga mengingatkan, kewajiban kontingensi terkait BUMN diperkirakan meningkat seiring dengan program infrastruktur. Kendati tidak menunjukkan risiko yang signifikan terhadap kekuatan fiskal, Moody’s meminta agar BUMN tidak dibebani utang terlalu besar.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, kepada Kompas, Minggu (15/4/2018), di Jakarta, mengatakan, peningkatan peringkat itu menunjukkan kerangka kebijakan fiskal dan moneter Indonesia lebih kredibel dan efektif menjaga stabilitas makroekonomi. Defisit fiskal dan tingkat utang yang terjaga dengan baik telah mengurangi risiko pembiayaan.
Di sisi kebijakan moneter, kebijakan Bank Indonesia dalam menjangkar inflasi dan stabilitas nilai tukar juga terus menjaga iklim investasi. Selain itu, kerentanan eksternal Indonesia dilihat dari rasio jatuh tempo utang Indonesia terhadap cadangan devisa berada pada tingkat aman.
”Melalui naiknya peringkat utang itu, ada potensi credit default swap (CDS) Indonesia cenderung turun. Hal itu mengindikasikan persepsi risiko investasi juga terus membaik dan biaya pinjaman cenderung lebih rendah. Iklim investasi pun diperkirakan akan semakin membaik, baik investasi portofolio maupun investasi di sektor riil yang akan menjadi pendorong utama dalam perekonomian,” katanya.
Di sisi lain, kata Josua, kewajiban kontingensi BUMN diperkirakan meningkat seiring dengan program infrastruktur kendati tidak menunjukkan risiko yang signifikan terhadap kekuatan fiskal. Namun, untuk membatasi beban keuangan BUMN, pemerintah perlu mendorong proyek-proyek pembangunan infrastruktur melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) dan skema-skema pembiayaan investasi nonanggaran pemerintah (PINA).
Melalui skema-skema itu, kualitas APBN dapat meningkat dan mengurangi tekanan terhadap APBN. Langkah itu juga dapat mengurangi tekanan terhadap APBD untuk mengalokasikan belanja modal untuk konstruksi di awal proyek.
”Strategi lainnya adalah BUMN dapat mencari sumber-sumber pendanaan nonkonvensional baru dan meninggalkan kebiasaan bergantung pada APBN. Misalnya melalui pasar modal dengan melakukan sekuritisasi aset-aset,” ujarnya.
Dalam Asia-Pacific Sector Insights: A Look Into The Corporate and Infrastructure Sector for Indonesia, lembaga pemeringkat utang dunia, Standard & Poor’s (S&P), menyebutkan, utang dari empat perusahaan konstruksi besar milik negara pada 2017 melonjak 57 persen menjadi 11,3 miliar dollar AS. Rasio utang pada 20 BUMN konstruksi telah meningkat lima kali terhadap pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA). Angka ini melonjak dibandingkan pada 2011 yang hanya satu kali terhadap EBITDA.
Industri keuangan
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso mengatakan, perbaikan rating Moody’s menunjukkan kepercayaan akan stabilitas sistem keuangan nasional tetap terjaga di tengah dinamika ekonomi global dan risiko geopolitik yang terjadi saat ini dan ke depan.
”Peningkatan rating itu juga akan meningkatkan kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia, termasuk di industri jasa keuangan, khususnya di pasar modal,” katanya.
OJK mencatat, kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan pada Februari 2018 masih sejalan dengan siklus awal tahun dan laju pertumbuhan ekonomi. Kredit perbankan pada Februari 2018 tumbuh 8,22 persen dan piutang pembiayaan 7,7 persen. Rasio kredit bermasalah (NPL) perbankan pada Februari sebesar 2,88 persen dan rasio pembiayaan bermasalah (NPF) 3,05 persen.
Di sektor pasar modal, sejak awal tahun hingga triwulan I-2018, kapitalisasi pasar modal di Indonesia tumbuh 17 persen. Adapun dana kelolaan investasi dana bersama, seperti reksa dana, DIRE, EBA, atau ETF, naik 31 persen pada 2017 dan pada triwulan I-2018 naik 5,6 persen.
Gubernur BI Agus DW Martowardojo dalam siaran pers mengatakan, perbaikan rating itu merupakan suatu prestasi besar di tengah masih berlanjutnya ketidakpastian ekonomi global yang memengaruhi perkembangan ekonomi kawasan dan domestik. Kini Indonesia berada pada satu tingkat lebih tinggi dari level Investment Grade.
Rating tersebut adalah level tertinggi yang pernah dicapai oleh Indonesia dari Moody’s. Hal itu dapat terwujud melalui konsistensi upaya BI bersama pemerintah menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
”Kami akan terus mewaspadai peningkatan risiko global dan mengoptimalkan bauran kebijakan, termasuk kebijakan makroprudensial dan pendalaman pasar keuangan. Tujuannya adalah menjaga stabilitas perekonomian agar semakin kuat, berkelanjutan, dan inklusif,” kata Agus.