Memanah Sumber Ekonomi
Eddy Roostopo (62) pernah meraih medali emas panahan ronde tradisional pada Pekan Olahraga Nasional XI di Jakarta tahun 1985. Tidak hanya piawai memanah, tangannya juga terampil menciptakan busur dan anak panah untuk "jemparingan". Kini, busur dan anak panah itu menjadi sumber ekonomi baru.
Busur dan anak panah karya Roostopo telah banyak dikirimkan kepada atlet-atlet panahan tradisional dan para penggemar jemparingan (olahraga panahan tradisional gaya Mataraman sambil duduk) ke sejumlah daerah di Tanah Air, mulai dari Aceh hingga Papua, bahkan telah dikirimkan ke luar negeri.
"Saya mulai mencoba membuat busur sendiri tahun 1981. Busur pertama sampai kelima yang saya buat itu rasanya tidak enak dipakai, baru busur keenam terasa enak dipakai," kata Roostopo yang akrab disapa Popop di bengkel kerjanya di Kelurahan Sriwedari, Kecamatan Laweyan, Solo, Jawa Tengah, Kamis (15/3).
Popop mengaku mulai mengenal panahan gaya tradisional dari sang ayah, Kasmidi (almarhum). Kakeknya juga seorang pemanah tradisional. Meski belajar jemparingan dari kecil, ia mulai serius menekuni olahraga panahan tradisional pada 1977 ketika berusia 22 tahun. Awalnya ia mengikuti lomba di Tawangmangu, Karanganyar, Jateng, menyambut perayaan kemerdekaan. Dari 36 peserta, ia menempati posisi paling buncit. Ia lalu serius belajar jemparingan.
Setelah mengikuti beberapa kejuaraan daerah, Popop berhasil merebut medali emas kejuaraan nasional panahan ronde tradisional di Surabaya, Jawa Timur, pada 1980. Pada ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) X di Jakarta 1981, ia merebut medali perak. Prestasinya makin bersinar, pada PON XI di Jakarta, ia berhasil merebut medali emas sekaligus memecahkan rekor dengan mencatatkan skor 315 untuk jarak 50 meter. Skor itu mematahkan rekor PON sebelumnya, 308. "Waktu itu saya pakai busur buatan sendiri," katanya.
Setelah tak lagi berlaga di PON, Popop sesekali membuat busur berikut anak panahnya. Namun, busur buatannya itu tidak dijual secara komersial. Ia hanya membuat busur atas pesanan teman- teman sesama atlet panahan. Pada 1988, temannya, Bambang, meminjaminya satu rol string (tali busur) impor seharga Rp 800.000 untuk modal membuat busur.
"Baru tahun 2008 saya mulai serius menekuni usaha membuat busur karena didorong teman-teman. Mereka merasa cocok dengan busur buatan saya," katanya.
Usaha rental tanaman hias yang sempat digelutinya selepas menjadi atlet profesional ditinggalkannya. Ia beralih menekuni kerajinan busur tradisional. Tanpa promosi khusus, pesanan busur dan anak panah buatannya mulai mengalir. Saat itu, Popop masih mengerjakan semua pesanan seorang diri.
Busur dibuatnya dari kayu sonokeling dan kayu sawo pada bagian pegangan, dikombinasi bambu petung pada bagian limb (dahan) atau sayap. Adapun untuk string, Popop masih menggunakan produk impor. "Kayu sonokeling memiliki keunggulan kuat dan motifnya bagus. Kayu sawo lebih kuat, tetapi juga lebih berat. Tergantung pemesan mau pilih apa," katanya.
Produksi dan pesanan
Pesanan terus mengalir dari Solo dan daerah sekitarnya, seperti Klaten, Wonogiri, Karanganyar, Sukoharjo (Jateng) juga dari Aceh, Bali, Kalimantan, hingga Papua. Produksi busur Popop terus bertambah. Dengan bekerja sendiri, ia bisa membuat 25 set busur dan panah per bulan. Setelah berkembang, Popop kini dibantu tiga karyawan dan juga dibantu putranya, Havid Ponx Jakaria (36). Popop memproduksi rata-rata 60 set busur per bulan. "Sekarang kami kewalahan memenuhi pesanan," kata Popop.
Bengkel kerjanya terlihat terus sibuk dengan aktivitas produksi. Siang itu, sebuah busur berikut anak panah sedang dibungkus untuk dikirimkan kepada pemesan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Satu set, yakni busur berikut 12 anak panah, dijual seharga Rp 1,2 juta. Tak hanya mengirim pesanan untuk di dalam negeri, Popop juga mengirim pesanan ke luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Belanda, dan Hongaria. "Putri saya tinggal di Hongaria. Beberapa kali ada pesanan dari sana," katanya.
Popop memanfaatkan media sosial untuk promosi. Ia rajin mengunggah foto-foto busur buatan tangannya di media sosial untuk mengabarkan pesanan yang telah selesai atau memamerkan produk-produk baru. "Saya tidak secara khusus memasarkan secara daring karena khawatir makin kewalahan karena kemampuan produksi masih terbatas," katanya.
Ia tidak mau gegabah menambah jumlah karyawan karena selain alat produksi masih terbatas, bengkel kerjanya juga tak begitu luas, dan tentu saja ekspansi usaha membutuhkan tambahan modal.
Selain disibukkan aktivitas produksi, Popop menjadi pembina klub panahan Semut Ireng Pop Archery Sriwedari (SIPAS). Klub ini didirikannya bersama pemanah senior dan para mahasiswa Institut Seni Indonesia Surakarta yang sebelumnya tergabung dalam klub panahan Semut Ireng. Saat ini, SIPAS memiliki anggota aktif hingga 70 orang, anak-anak dan dewasa. Ia juga masih aktif melatih panahan gaya tradisional. "Jemparingan adalah bagian tradisi yang harus dilestarikan," katanya.