JAKARTA, KOMPAS - Tingkat ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap mata uang asing yang masih besar bisa mengganggu stabilitas ekonomi ketika rupiah melemah. Bank Indonesia terus mendorong pemanfaatan lindung nilai dan mengurangi ketergantungan penggunaan mata uang asing dalam transaksi perdagangan lintas negara.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Dody Zulferdi dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (14/3), mengatakan, lebih dari 90 persen korporasi yang memiliki utang luar negeri telah memanfaatkan lindung nilai. Ketika rupiah melemah dua pekan terakhir, lindung nilai terbukti efektif memitigasi likuiditas perusahaan.
BI juga terus mendorong pemanfaatan swap lindung nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Selain dollar AS, swap lindung nilai juga dalam bentuk yen, yuan, dan euro.
“BI, Bank Negara Malaysia, dan Bank of Thailand (BoT) juga telah menyepakati kerja sama penggunaan mata uang lokal (LCS) untuk transaksi dagang ketiga negara. Melalui kerja sama itu, ketiga negara tidak perlu menggunakan dollar AS, tetapi menggunakan rupiah, baht, dan ringgit malaysia,” kata dia.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman menuturkan, saat ini sudah ada enam perusahaan yang menggunakan skema LCS. Sejumlah importir dan eksportir besar juga sudah menunjukkan minat. Mereka bergerak di sektor usaha impor produk pertanian, makanan dan minuman, serta suku cadang kendaraan bermotor. Importir biasanya bertransaksi menggunakan dollar AS. Dengan skema LCS, mereka bisa menggunakan mata uang tiga negara.
”Selain itu, sebanyak tujuh bank di Indonesia yang ditunjuk sebagai Bank Appointed Cross Currency Dealer (ACCD) sudah mempersiapkan infrastruktur, termasuk pembukaan rekening nostro dan vostro di masing-masing bank,” kata dia.
Sejak 28 Februari hingga 14 Maret, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menurut kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang diterbitkan BI berada di kisaran Rp 13.700-Rp 13.800 per dollar AS. Sejak 12 Maret, rupiah mulai menguat kendati masih belum pada nilai fundamentalnya. Pada 12 Maret nilai tukar rupiah berada pada level Rp 13.768 per dollar AS dan pada 14 Maret pada level Rp 13.739 per dollar AS.
Sektor riil
Dody menyebutkan, pelemahan nilai tukar rupiah tersebut bersifat temporer. Saat ini, nilai tukar rupiah stabil dan cenderung menguat kendati masih belum pada nilai fundamentalnya. BI meyakini masih ada ruang penguatan bagi rupiah, terutama setelah Bank Sentral AS, The Fed, menaikkan suku bunga acuan (FFR). ”Karena bersifat temporer, dampaknya terhadap sektor riil, terutama industri yang membutuhkan bahan baku dan barang modal impor, terbatas. Fundamen ekonomi Indonesia baik, BI telah menjaga stabilitas rupiah, dan sejumlah perusahaan telah melakukan lindung nilai,” kata dia.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah dalam jangka waktu lama akan berdampak pada biaya produksi dan logistik. Sebagian besar bahan baku industri makanan dan minuman masih impor.
Namun, pelemahan nilai tukar rupiah selama dua pekan terakhir ini dampaknya tidak signifikan. Bahan baku impor diperoleh dangan cara kontrak, tidak membeli secara langsung.
”Kami berharap agar BI tetap menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Masih sedikit pelaku usaha makanan dan minuman yang melakukan lindung nilai. Hanya perusahaan-perusahaan besar yang melakukan itu karena biaya lindung nilai mahal, yaitu sebesar 4 persen dari total nilai yang dilindungi,” kata dia.