JAKARTA, KOMPAS - Kendati nilai tukar rupiah belum sampai pada nilai fundamentalnya, tekanan penurunan nilai tukar rupiah terhadap pasar keuangan mulai mereda. Beberapa indikatornya adalah aliran dana asing yang keluar sudah semakin kecil dan eksportir mulai meningkatkan transaksi valuta asing.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan tekanan tersebut akan berakhir setelah Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, menaikkan suku bunga acuan (FFR). Pada tahun ini, pelaku pasar memperkirakan FFR naik tiga sampai empat kali sebesar 75-100 basis poin. Kenaikan pertama akan terjadi dalam rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pada 20-21 Maret.
Sejak 28 Februari hingga 12 Maret, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menurut kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang diterbitkan BI berada di kisaran Rp 13.700-Rp 13.800 per dollar AS.
Pada 28 Februari, nilai tukar rupiah berada pada level Rp 13.707 per dollar AS dan pada 13 Maret pada level Rp 13.757 per dollar AS.
Kepala Departemen Pendalaman Pasar Keuangan BI Nanang Hendarsyah, Selasa (13/3), mengatakan, saat ini tekanan pelemahan rupiah terhadap pasar keuangan mulai mereda. Aliran modal asing yang keluar mulai turun dari 200 juta dollar AS menjadi 100 juta dollar AS pada pekan lalu.
Investor asing dan korporasi domestik juga mulai banyak masuk ke pasar forward valuta asing (valas) sehingga tekanan beli di pasar tunai berkurang. Hingga 12 Maret, rata-rata transaksi forward valas beli untuk nonbank dalam negeri dan investor asing masing-masing 108 juta dollar AS dan 107 dollar AS per pekan.
”Likuiditas pasar sudah semakin bagus. Perbedaan kurs beli dan jual saat ini hanya sekitar Rp 3,4 dibandingkan tekanan yang terjadi pada 2013 yang mencapai Rp 22. Artinya likuiditas dan efisiensi pasar valuta asing Indonesia semakin bagus,” kata dia.
Valuta asing
Selain itu, lanjut Nanang, eksportir juga sudah mulai menjual valuta asing. Eksportir minyak kelapa sawit mentah (CPO) misalnya, secara bersih telah melepas valuta asing sekitar 120 juta dollar AS per minggu.
”Tekanan kurs pada dua minggu terakhir terjadi karena pasar menyesuaikan ekspektasi kenaikkan FFR. Ketika The Fed benar-benar menaikkan suku bunga dalam rapat FOMC mendatang, tekanan tidak akan bertambah lagi,” kata dia.
Pola pergerakan pasar seperti itu sudah sering berulang dalam 3 tahun terakhir. BI sudah terbiasa dengan dinamika tersebut. Apalagi nanti pada triwulan II, permintaan valas biasanya akan meningkat karena ada repatriasi dividen. BI selalu dapat mengantisipasi pola musiman itu.
Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan menambah beban importir bahan baku dan barang modal. Selain harga barang impor naik, biaya transportasi logistik baik lewat laut maupun udara membengkak.
”Biaya angkutan logistik eskpor dan impor, baik milik asing maupun pengusaha nasional tidak naik. Pembengkakan biaya itu berasal dari pelemahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar AS. Hal itu terjadi karena dalam kegiatan transaksi logistik sering menggunakan mata uang asing,” kata dia.
Yukki berharap agar importir memanfaatkan Pusat Logistik Berikat di Indonesia untuk menyimpan stok bahan baku yang pemakaiannya tidak bersifat segera. Dengan menyimpan bahan baku atau barang modal di dalam negeri, mereka akan mengurangi biaya impor apalagi pada saat rupiah melemah.